Jurnal Warga, daridesa.com – Sudah tidak asing lagi mendengar nama serta pemikiran-pemikiran beliau yang sering dilibatkan oleh berbagai organisasi dalam memperjuangkan hak-hak serta kesetaraan perempuan dan gender. Kartini menjadi sosok penting dalam sejarah perjuangan perempuan. Pada tanggal 21 April 1879 perempuan bernama lengkap Raden Ajeng Kartini asal Jepara Jawa tengah ini selalu diperingati setiap tahunnya sebagai momentum mengenang jasa serta perjuangannya dalam kesetaraan gender.
Hari Kartini dirayakan setelah pada tanggal 2 Mei 1964 setelah Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden RI No.108 tahun 1964 tentang penetapan Kartini sebagai Pahlawan Kemerdekaan Nasional (dilansir tirto.id).
Kartini berjuang agar perempuan dapat mendapatkan persamaan hak dalam berbagai ranah kehidupan, khususnya pendidikan dan harus tetap menjunjung tinggi kodrat kewanitaannya. Tidak hanya sekedar memperingati, namun upaya-upaya yang dilakukan setiap tahunnya merupakan bukti bahwasannya nilai sejarah bangsa harus tetap dilestarikan agar dapat membangun karakter bangsa yang positif serta progresif, pun perlu diingat jasmerah (jangan sekali-kali melupakan sejarah). Momen peringatan yang dilakukan oleh masa kini baik ranah sekolah, organisasi maupun pemerintah ialah dengan memakai busana adat, adapun karnaval, berbagai ajang lomba, seminar, diskusi bahkan refleksi.
Cermin Kartini masa kini sudah banyak terdapat pada intansi pemerintah terkait, berbagai organisasi internal maupun eksternal masyarakat maupun mahasiswa. Pun diranah pergerakan PMII dalam tubuhnya terbangun badan semi otonom khusus perempuan yakni KOPRI (Koprs PMII Putri), meski secara struktural dipegang oleh perempuan namun wadah KOPRI sangat memungkinkan bagi para laki-laki untuk saling kontribusi. Sebab KOPRI berdiri tidak hanya untuk wadah gerakan perempuan saja namun saling sinergitas membangun PMII dalam peradaban. KOPRI tidak hanya memberikan ruang, kaderasisi yang telah dibuat dan dibukukan harusnya sudah bisa di implementasikan serta di berdaya untuk para kader KOPRI. Nilai-Nilai yang tercantum dalam PMII bahkan merupakan modal besar bagi para kader untuk saling memperjuangkan pengabdian terhadap bangsa.
Sebagai perempuan yang bergerak dalam wadah pergerakan, mampu kiranya terus berupaya mengambil, memaknai beragam nilai yang turun-temurun oleh Kartini untuk lebih ghiroh dalam membangkitkan kembali semangat juang serta perjalanan peradaban kedepannya. Salah satunya dalam Nilai Panca KOPRI yang melekat yakni emansipasi, meskipun bangsa sudah merdeka, fasilitas negara sudah tidak sesusulit jaman nenek moyang diharapkan KOPRI dapat selektif dalam melalui perjalanan dari zaman ke zaman dan mampu adaktif. Perlu banyak dorongan kesadaran serta literasi yang kuat guna bekal mengaplikasinya.
Saya menyadari bahwa masih banyak ketimpangan yang terjadi dalam perempuan, bahkan mata rantai patriarki masing melekat dalam budaya. Perempuan sulit mengakses diri sebab norma-norma budaya yang membelenggu, frasisme religius yang mengusung isu-isu anti prularisme serta liberalis dll. Dan saya sebagai kader KOPRI menyadari betul setelah melaksanakan jenjang kaderisasi dan kehidupan yang kompleks di berbagai sudut, membangun kesadaran dalam memandang segala hal tidak mudah termasuk memberi ruang untuk perempuan agar bisa lebih berkreasi. Jika stigma perempuan selalu melekat ‘sumur, dapur,kasur’ perempuan akan sulit melepas pikiran-pikiran yang menghantuinya. Untuk melampuinya sebagai kader KOPRI harus terus bergerak, tidak hanya eksis saja tetapi juga harus berani dalam bersinergi.
Dua kelemahan yang terjadi di negara ini, lemahnya pergerakan yang terjadi pada perempuan dan kepemerintahan yang tidak ramah gender. Akan sulit menembus stakeholder bila kelemahan tidak bisa kita reflesikan untuk bangkit. Dengan menjaga kewarasan, dalam artian perempuan (khususnya KOPRI) diharapkan bisa membawa martabat perempuan lebih baik untuk kedepannya serta membangun keharmonisan antar perempuan, yang dimaksud yakni “sisterhood” persaudaraan atau saling support antar perempuan sangat dibutuhkan untuk mencapai sebuah titik kesalingan.
“Tahukah engkau semboyanku? Aku mau! Dua patah kata yang ringkas itu sudah beberapa kali mendukung dan membawa aku melintasi gunung keberatan dan kesusahan. Kata Aku tiada dapat! melenyapkan rasa berani. Kalimat ‘Aku mau!’ membuat kita mudah mendaki puncak gunung.” R.A Kartini.
Penulis: Risma Dika Alvianti