Daridesa.com | Cerpen – “Kasih saya waktu dua bulan lagi Pak. Saya mohon pisan.” Kedua tangan lelaki itu ditaruh di atas kepalanya sendiri, memohon. Dia tidak peduli dengan tatapan iba dari orang-orang yang berlalu lalang. Habis sudah badannya oleh peluh karena keringat dan bau matahari.
“Saya sudah kasih keringanan padamu berbulan-bulan lalu ‘kan? Saya juga butuh dahar nyaho!” suara pria yang bajunya terlihat lebih necis itu sedikit meninggi. Matanya memberi arahan pada dua lelaki lain di belakang untuk segera membawa karung-karung yang sudah dikumpulkan susah payah oleh pria yang berlutut di tanah itu.
“Tapi Pak ….”
“Ah sudah! Kamu masih punya sisa.”
Lelaki necis itu bergegas pergi dengan mobil pick-up hitam. Tinggal seorang bapa tani tadi yang terlihat putus asa.
“Yusuf! Ayok pulang,” panggil sang ibu. Drama hari ini sepertinya usai Yusuf tonton karena perintah ibunya. Lagi pula kesedihan lelaki itu memang belum Yusuf pahami. Ia hanya tahu mungkin lelaki itu dimarahi karena susah disuruh pulang, seperti dirinya. Hanya saja dia sudah tua, sedangkan dirinya masih sekolah dasar.
“Bu, orang tadi kenapa? Kok dimarahi?” tanyanya penasaran. Pandangannya tidak fokus antara melihat jalan dan memandang wajah ibunya.
“Dia gak bayar hutang Nak.” Ibunya menjelaskan singkat
“Hutang itu apa?”
“Hutang itu, kayak Yusuf beli permen ke warung tapi gak bayar.”
“Itu kan gak boleh Bu.” Dahinya mengerut, memikirkan kalau dirinya membeli permen tanpa membayar. Sudah habis pastinya dikejar pemilik warung.
“Iya. Tapi untuk beberapa keadaan, orang lain tidak berpikir begitu. Bagi orang-orang disini, itu bisa menyambung hidup.”
“Yusuf gak ngerti Bu.”
“Hahaha. Nanti juga Yusuf ngerti kalau udah besar. Ayok cepet jalannya, kasian Bapak nunggu kita di rumah.”
Yusuf mengangguk. Tangan kecilnya mencoba menyeimbangkan tas keresek yang ia bawa selepas dari ladang. Isinya tentu hasil panen bawang bulan ini. Sedangkan sisanya sudah dibawa bapak pulang ke rumah semenjak tadi.
Sesampainya di rumah yang notabene berbilik itu, Yusuf menceritakan lagi perihal apa yang dia lihat kepada bapaknya. Bapaknya hanya mengangguk mendengarkan lantas menyuruh untuk dia lekas makan. Sedangkan sang ibu, badannya ambruk di kursi sebelah suaminya.
“Bu, sepertinya hasil panen bawang kita kali ini semakin menurun loh. Modal kita juga habis, harga bawang itu mahal pula.” Matanya memandang langit-langit bilik. Akhir-akhir ini cuaca memang memaksakan para petani di desanya untuk berpikir lebih keras, menentukan nasib garapan mereka dikemudian hari.
“Lalu nasib ladang kita mau dibawa ke mana Pak? Mata pencaharian kita satu-satunya cuma itu. Biaya Yusuf kedepannya juga pasti makin mencekik.”
“Kita garap padi saja bagaimana? Kau tahu tidak, setelah kutanya-tanya ke petani padi, mereka bisa untung enam juta per hektar dalam kurun waktu satu bulan. Ya meski ladang kita gak seluas si tengkulak itu, setidaknya cukup untuk membiayai semuanya.”
“Modal yang kita punya tidak cukup Pak.”
“Akan Bapak usahakan meminjam pada si Lesmana itu.” Si istri sedikit kaget. Satu kampung tahu, Lesmana adalah tengkulak yang terkenal arogan. Tapi cuma dia satu-satunya yang memiliki akses untuk meminjam dan menjual hasil hingga keluar desa.
“Kamu yakin?”
“Kalau bukan dari dia. Dari mana lagi kita dapat modal. Uang kita saja sudah habis untuk keperluan Yusuf ‘kan?”
Pandangan mereka terlempar ke depan. Azan magrib mengunci segala pendapat.
“Sudah magrib, nanti kita teruskan.”
Tanpa menyanggah, mereka berdua masuk ke rumah. Memulai untuk beribadah bersama. Doa mereka panjatkan atas rasa syukur panen bulan ini, juga kekhawatiran mereka memulai garapan baru.
Setelah malam hampir ke tengah, Yusuf terlihat masih bersungut mengerjakan tugas sekolah. Sunardi, membantu Yusuf sebisa ia saja, sedangkan Irma, satu-satunya wanita di keluarga tersebut sibuk membereskan keperluan anak serta suaminya besok.
“Beres!” Anak dan bapak tersebut serentak berseru, setelah soal matematika terakhir mereka selesai kerjakan. Menghitung angka-angka di atas kertas, memecahkan persoalan soal-soal di dalam buku pelajaran lebih mudah bagi mereka, berbeda dengan soal-soal kehidupan yang selalu menuntut jawaban di luar dugaan. Mulut Yusuf terbuka lebar, sesekali dia mengusap-ngusap matanya yang sudah lelah.
“Yusuf tidur ya. Sudah malam.”
Tanpa membantah, Yusuf membereskan buku dan pulpen yang berserakan lantas masuk ke kamarnya sendiri.
“Bu! Sini lah.” Sunardi cepat-cepat memerintah, ketika melihat istrinya melenggang ke kamar.
“Ada apa?”
“Loh, kan kita mau ngebahas soal tadi siang.”
“Aduh, besok saja ya Pak. Capek,” jawabnya seraya masuk ke kamar.
“Loh … yasudah, kalau begitu kita bahas soal ‘kita’ saja malam ini.” Sunardi tersenyum geli sendiri atas ucapannya, lalu menyusul sang istri masuk ke kamar.
Malam itu, kegelisahan sementara hilang dari balik ranjang yang berderit, besinya memang sudah tua. Namun, semangat untuk tetap menyambung benih-benih harapan tetap tumbuh. Begitu pula cinta mereka yang kembali muda.
***
Tangan Sunardi terlihat repot menghitung uang sisa pinjaman pada Lesmana tadi pagi. Sebagian sudah ia belikan segala perlengkapan untuk menggarap lahan baru, benih padi, pupuk, obat dan keperluan lainnya. Meskipun ia sendiri belum paham betul, tapi dengan tekad dan sedikit wejangan dari Lesmana, Sunardi percaya garapan kali ini akan berhasil.
Ia memandang luas ke depan, dikibas-kibasnya cetokan yang ia pakai. Membuat angin kecil lebih kencang di sekitaran lehernya yang berpeluh. Ini sudah hari ketiga ia mulai menggarap lahan untuk padi dan mulai nandur padi bersama sang istri.
“Ayok, makan dulu,” ajak sang istri.
Tak ada kemewahan. Mereka menyantap makan siang hanya beralaskan rumput di sisi sawah. Terik, angin dan sedikit lumpur adalah makanan tambahan, suasana dan bau khas pesawahan menjadi pelengkap romantisme bagi pasangan yang sudah menikah seperempat abad ini. Bising kota adalah asing bagi mereka, orang-orang desa di sini lebih akrab dengan suara cangkul saat menghantam tanah, traktor menggarap lahan, atau suara cekikikan ibu-ibu yang menggema saat senja tiba, pergi membawa harap dan pulang membawa hasil.
“Kalau begini, semoga segala kebutuhan Yusuf nantinya terpenuhi.” Mata bulat Irma menerawang jauh ke depan. Di dalam bayangnya terbesit bagaimana Yusuf tidak kekurangan suatu apa pun dalam pendidikan, lulus SMA, kuliah dan mendapatkan pekerjaan yang mapan. Malah, saat membayangkan mendapatkan cucu dari anak satu-satunya itu, dia tertawa kecil.
Masih jauh, hihi. Pikirnya.
“Iya, aku setuju. Tapi setidaknya anak itu juga harus diajari bagaimana meneruskan hidup keluarga kita.” Sunardi menyalakan rokok, dihisapnya sekali untuk membuat ujungnya lebih menyala. Mulutnya terlihat sedikit mengatup ke dalam.
“Ah buat apa. Yusuf harus tetap fokus pada pendidikan Pak. Jangan campur adukkan dengan pekerjaan monoton seperti ini.” Ia mengelak. Tak sudi bila anak lelakinya malah berkubang di ladang sebagaimana orang tuanya. Harusnya Yusuf berkecimpung dengan monitor-monitor, kertas, dan uang perkantoran.
“Pendidikan tanpa pengalaman juga nantinya dia bisa diinjak sama kehidupan ….”
“Pengalaman bisa dia dapatkan nanti, Pak.” Irma memotong pembicaraan, tak mau kalah.
“Dengarkan aku dulu.” Intonasinya sedikit menekan. Setelah menghembuskan asap ke atas, dahinya sedikit berkeringat lantas melanjutkan apa yang tadi sempat terpotong istrinya, “Yusuf itu, anak kita satu-satunya ‘kan. Ingat tidak bagaimana kita dulu bahagia sekali saat Yusuf pertama kali menangis? Yah, kebahagiaan kita lantas sempurna. Bagaimana dia mulai berjalan, jatuh, belajar bicara sampai sekarang, sudah jadi murid sekolah dasar.
“Bu, lambat laun dia akan meninggalkan kita. Mengejar mimpi dan membawa harap cemas. Yusuf pastinya akan memilih jalannya sendiri, kita sebagai orang tua hanya bisa memberikan dukungan. Sebagai anak desa, tentunya kau sendiri tak mau ‘kan, anak kita hanya bergelut dengan cangkul atau kerbau di sawah?”
“Tentu saja tidak Pak.”
“Nah, sebelum Yusuf lebih memilih mimpinya daripada kita. Apa yang bisa kita lakukan selain memberi bekal kelak? Tak usah malu Bu, jika Yusuf nyatanya lebih pandai nandur daripada kita, atau garapan tanahnya lebih apik daripada kita. Toh, itu akan berguna suatu saat nanti. Banyak di luar sana orang berpendidikan, tapi dia tidak pandai menyemai pengalaman, akhirnya luntang lantung saja menunggu di PHK. Pengalaman itu jangan ditunggu, tapi dilakukan.”
“Tetap gak mau. Kalau Yusuf hanya lulusan SMP seperti aku ini, Ibunya. Dia harus tetap fokus pada pendidikan. Siklus ini biar kita saja yang lakukan, tak usah Yusuf harus ikut berkeringat.”
“Yah, terserah kau saja lah Bu. Dari dulu tetap saja tidak mau mendengar ucapanku.”
“Biar saja.” Irma beranjak, membereskan rantang-rantang dan segera melanjutkan menanam bibit padi. Sunardi hanya menggeleng melihat sifat egois istrinya itu. Memang istrinya sedikit sulit dinasihati apalagi terkait Yusuf. Kecuali dia sudah merasakan sendiri akibat dari keegoisannya.
Asap rokok kembali mengepul ke atas, seraya membawa kepulan harapan yang sejatinya selalu tertanam di hati Sunardi. Kelak, ia selalu membayangkan rokok ditangannya memiliki harga yang lebih mahal, ketimbang harga eceran yang selalu ia beli di warung-warung kecil di sekitar rumahnya.
Ini sudah kali keempat Irma dan Sunardi melakukan panen padi. Tiga bulan pertama, hasil yang mereka dapat hanya setengah. Tentu saja karena setengahnya di ambil oleh Lesmana, tengkulak padi di desanya. Sunardi yang baru mengetahui sistem Lesmana yang curang itu tidak bisa berbuat apa-apa. Karena memang modal yang ia pinjam dulu belum bisa Sunardi kembalikan.
Beberapa warga desa juga mengeluhkan hal yang sama. Akses menjual padi ke kota sangat lah jauh, begitu pula dengan transportasi yang tidak memadai. Mau tidak mau, Sunardi dan beberapa warga lainnya terpaksa menjual pada Lesmana, meski harga beli tentu jauh sangat murah dibanding langsung menjual ke perkotaan.
Bulan demi Bulan berganti, Tahun demi Tahun sudah dilewati. kini menggarap sawah sudah menjadi hal biasa mereka. Tidak terasa, Yusuf sudah beranjak dewasa. Kehidupan lebih membaik daripada sebelumnya, namun piutang tetap melilit seperti akar pohon. Meski diputus, tetap tumbuh di tempat lain. Sunardi dan Irma sendiri mencoba beranggap bahwa itu bukan hal serius, tapi tetap saja, uban di kepala mereka tidak berkata demikian.
Sore itu, Yusuf kembali melihat seseorang sedang dimarahi. Lelaki pemarah yang sama, hanya saja tubuhnya sedikit lebih lebar sekarang. Kali ini, seorang perempuan yang menjadi korbannya. Kasihan memang, tapi Yusuf sekarang paham, kesedihan wanita dan amarah lelaki bertubuh subur itu memiliki alasan. Bukan karena si ibu yang telat pulang seperti anggapannya dulu.
“Yusuf, ayok kita pulang.” kali ini, suara ibunya tidak lagi senyaring dulu. Getaran yang keluar dari bibirnya cukup meluluh lantakan hati Yusuf. Sebenarnya dia tidak tega melihat ibu dan bapaknya terus saja berkutat di ladang. Tapi Yusuf sendiri tidak pandai membantu, dirinya hanya ahli dalam ilmu, bukan praktek bersawah.
“Bu … Pak, Yusuf mau kerja.” Yusuf memberanikan mengungkapkan pendapatnya, setelah beberapa malam menimang. Raut terkejut terlihat dari sudut mata Sunardi, tapi istrinya lebih leluasa untuk bertanya.
“Kamu mau kerja di mana Nak? Sudah, kamu fokus pada pendidikan kamu saja selanjutnya.”
“Yusuf mau ikut pak Lesmana saja Bu. Beliau pekan nanti mau ke kota. Yusuf mau coba cari peruntungan. Boleh ya Pak, Bu?” mata Yusuf terlihat memelas.
“Kalau Bapak sih terserah kamu aja. Carilah pengalaman sebisamu.” Sunardi menjawab santai, tanpa harus melihat langsung wajah Yusuf.
“Bapak ini bagaimana. Gak boleh! Pokoknya Yusuf harus lanjut kuliah. Kerja biar jadi urusan Ibu sama Bapak saja.”
“Tapi Bu. Yusuf mau bantu.”
“Bantunya cukup dengan melanjutkan studimu. Itu sudah cukup.”
Sunardi tahu ini tidak akan baik. Lantas dia beranjak dari kursi tua yang sudah lapuk karena terlalu lama menanggung bobot tubuhnya itu.
“Sudah, Yusuf turuti saja apa kata Ibu. Gak akan menang kalau debat sama Ibumu itu,” ucap Sunardi seraya memakai topi dan melangkah ke luar rumah. Angin senja membuatnya lebih bisa mengendalikan emosi.
Dengan berat hati Yusuf menuruti untuk melanjutkan kuliah. Dan mengambil jurusan management sesuai permintaan sang Ibu.
Yusuf sudah mulai jarang pulang. Dia lebih banyak menghabiskan waktunya di kota. Sedangkan kehidupan Sunardi dan Irma tetap pada siklus yang sama. Menyemai benih, menabur harapan. Kongkalikong dengan para tengkulak masih saja terjadi di desanya. Malah, beredar kabar, kini ada seorang tengkulak saingan Lesmana. Dia dari kota dan harga yang dipatok sedikit tinggi. Kabarnya pula, sore nanti dia akan datang ke desa untuk membawa langsung padi-padi dari para petani.
Ketika matahari sudah berada pada posisi pukul 15.49 WIB, para petani di desa sudah berkumpul. Termasuk Sunardi dan Irma. Tidak perlu lama, sebuah mobil pick-up putih dan beberapa truk datang. Serentak semua berdiri, penasaran dengan siapa sesungguhnya tengkulak yang menyaingi Lesmana.
Tubuhnya masih tegap, pakaiannya terlihat lebih modis, dia memakai topi hitam-abu. Lalu menghampiri Irma yang terlihat tertegun.
“Maaf. Pengalamanku tidak cukup untuk menjadi orang kantoran, Bu.”
Ya, dia adalah anak mereka sendiri. Yusuf kini menjadi seorang tengkulak. Studinya tentu tidak jadi, karena ketatnya persaingan dan mahalnya biaya yang harus dikeluarkan. Hanya saja, otak Yusuf lebih paham tentang seluk beluk tengkulak di perkotaan. Sehingga dia mencoba mencari peruntungan dan hasilnya lumayan beruntung.
“Aku sudah mencoba Bu. Tapi mungkin sukses yang Ibu harapkan itu, berbeda jalannya. Tenanglah, aku masih Yusuf anaknya Ibu.”
Tak ada sepatah kata pun dari Irma. Dia bahkan tidak tahu, selama di kota sebenarnya apa yang dilakukan Yusuf dia tidak tahu betul. Ia hanya tahu bahwa anaknya sedang memintal mimpi yang sempat tertunda olehnya. Melihat ibunya hanya diam, Yusuf memilih untuk melanjutkan pekerjaannya, sebelumnya dia mencium tangan ibunya, tak ada respon kecuali mata Yusuf yang hampir berair dan wajah ibunya yang sedikit memperlihatkan raut kecewa.
“Sudah Bapak bilang kan. Pengalaman tidak serta merta membuat kita tidak memiliki apa-apa. Sekarang lihat, pengalaman dia hanya sebatas mengambil dan menjual padi.”
“Padahal, niatku agar dia sukses Pak,” ujarnya parau.
“Sukses tidak diukur seberapa tinggi ilmu yang dia dapat di akademi Bu. Sukses itu saat Yusuf bisa menaklukkan hidupnya, bukan hidup yang menaklukkan Yusuf seperti ini. Biar katakanlah dia menjadi petani, toh ilmu petani itu juga tinggi. Harus bisa menyambung apa yang sudah Alam berikan, membantu menyambung hidup banyak orang. Jadi petani itu berat ilmunya Bu, harus tahan dengan cuaca yang tidak bisa paham dengan kita, harus bertarung dengan hama yang tidak toleran dengan kita.”
Tidak ada jawaban lagi dari Irma. Hanya ada mata yang berkaca-kaca.
“Sudalah Bu. Ayok bantu Bapak, siapa tahu harga jual di Yusuf lebih tinggi.”
Rasanya, mimpi keduanya sudah tergadaikan.
Anaknya kini lebih pandai mencangkul harapan mereka yang mereka tanam selama bertahun-tahun. Tapi Sunardi terlihat lebih tabah daripada Irma, istrinya.
Matahari sudah hampir pulang ke altarnya, padi hanya tinggal sekam. Dan harapan hanya tinggal keinginan.
Tamat.
