Seragam Sama, Nasib Tak Sama: Mempertanyakan Keadilan di Balik Wajib Belajar 9 Tahun

Seragam Sama, Nasib Tak Sama: Mempertanyakan Keadilan di Balik Wajib Belajar 9 Tahun
Gambar Ilustrasi Siswa SMP / Dok. Net

Wajib belajar 9 tahun merupakan kebijakan pendidikan dasar yang mengamanatkan setiap warga negara Indonesia berusia 6 hingga 15 tahun untuk mengikuti pendidikan dasar, mulai dari jenjang Sekolah Dasar (SD) hingga jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau sederajat. Secara hukum, Mahkamah Konstitusi (MK) juga telah memperkuat kebijakan ini melalui putusan uji materi Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang mewajibkan pemerintah membiayai pendidikan dasar secara gratis, baik di sekolah negeri maupun swasta.

Dari segi kebijakan, ini tampak sebagai kemajuan besar. Namun, di lapangan, wajah pendidikan masih jauh dari kata setara. Gratisnya uang sekolah tidak serta merta menghapus kesenjangan antar siswa.

Di beberapa sekolah negeri, anak-anak masih diwajibkan membeli seragam olahraga, baju batik sekolah, dan berbagai atribut tambahan lainnya. Semua itu mungkin terlihat sepele bagi sebagian kalangan, tapi menjadi beban bagi keluarga dengan penghasilan pas-pasan.

Saya menyaksikan sendiri di lingkungan tempat tinggal saya, yang mayoritas masyarakatnya hidup dengan ekonomi sederhana. Banyak orang tua yang mengeluhkan soal biaya pendidikan yang terus membengkak. Meskipun SPP digratiskan, ongkos transportasi, buku, perlengkapan sekolah, dan yang paling sering jadi biaya yaitu ‘membeli seragam tambahan’, tetap harus ditanggung sendiri.

Tak sedikit dari mereka yang harus mengorbankan kebutuhan rumah tangga agar anak bisa ‘tampil lengkap’ sesuai permintaan sekolah. Ironisnya, anak-anak yang seragamnya tak sesuai, sering kali merasa minder atau bahkan diperlakukan berbeda. Dalam artian selalu ada sanksi untuk anak yang tidak beratribut lengkap. Ironisnya, pendidikan yang seharusnya menjadi ruang pembebasan, menjadi ruang tekanan sosial baru.

Wajib belajar 9 tahun sejatinya lahir dari semangat pemerataan dan keadilan sosial. Namun, jika pelaksanaannya masih menyisakan biaya tersembunyi yang tak terjangkau oleh semua kalangan, maka kita perlu bertanya: benarkah pendidikan kita sudah inklusif dan setara?

Perlu diakui, sekolah juga berada dalam posisi sulit. Keterbatasan anggaran operasional membuat banyak dari mereka mencari alternatif pembiayaan melalui iuran atau kebijakan seragam yang ‘disepakati’ komite. Tapi ini justru memperparah kesenjangan. Ketika identitas sekolah dibentuk oleh baju, bukan isi kepala, kita sedang menanamkan pesan yang keliru kepada anak-anak.

Lalu, Apa yang Bisa Dilakukan?

Pertama, perlu ada pengawasan dari pemerintah daerah terhadap kebijakan atribut sekolah. Sekolah memang berhak punya identitas, tapi tidak boleh memaksakan kewajiban seragam tambahan tanpa mempertimbangkan kondisi sosial ekonomi murid. Peraturan sekolah harus berpihak pada siswa, bukan hanya citra sekolah.

Kedua, alokasi dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) atau dari komite seharusnya bisa digunakan untuk memberikan seragam gratis minimal satu set untuk siswa baru, tanpa memandang status ekonomi. Beberapa sekolah swasta kecil bahkan sudah melakukan ini dengan swadaya.

Ketiga, sekolah harus membuka ruang komunikasi dengan orang tua, terutama mereka yang mengalami kesulitan. Tidak semua orang tua berani menyampaikan kendala mereka secara langsung. Padahal, empati kecil dari sekolah bisa berdampak besar pada semangat belajar anak.

Kita tentu bangga bahwa pendidikan dasar kini gratis. Tapi jika anak harus menanggung beban ekonomi karena seragam dan atribut lainnya, maka makna “gratis” itu jadi semu. Kesetaraan dalam pendidikan tidak akan pernah tercapai jika kita masih menilai anak dari lengkap atau tidaknya atribut mereka, bukan dari semangat belajarnya.

Maka, mari kita kembali ke hakikat pendidikan: membebaskan, bukan membebani. Karena pendidikan sejati tidak lahir dari atribut yang sama, tapi dari kesempatan yang setara.

Penulis : Elvia Hani Marlina (Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung)

ARTIKEL TERKAIT
Merdeka Belajar, Tapi Belum Bisa Membaca

Merdeka Belajar, Tapi Belum Bisa Membaca

PMII Purwakarta Desak Solusi Adil bagi Warga Tergusur Tanah Negara

PMII Purwakarta Desak Solusi Adil bagi Warga Tergusur Tanah Negara

UMKM Mamprang Resmi Dimulai, Dorong Digitalisasi UMKM Purwakarta Lewat Konten Kreatif

UMKM Mamprang Resmi Dimulai, Dorong Digitalisasi UMKM Purwakarta Lewat Konten Kreatif

PMII Purwakarta Kritik Keras Kebijakan Jam Malam Bupati Purwakarta: Pelajar Dibatasi, Kreativitas dan Kesejahteraan Terabaikan

PMII Purwakarta Kritik Keras Kebijakan Jam Malam Bupati Purwakarta: Pelajar Dibatasi, Kreativitas dan Kesejahteraan Terabaikan

100 Hari Kepemimpinan, Aliansi BEM Purwakarta Layangkan Kritik Terbuka ke Bupati: Soroti Masalah Pendidikan hingga Gedung GCC

100 Hari Kepemimpinan, Aliansi BEM Purwakarta Layangkan Kritik Terbuka ke Bupati: Soroti Masalah Pendidikan hingga Gedung GCC

Komunitas Pena dan Lensa Lakukan “Jarambah Lur” ke Desa Pasir Angin untuk Riset Awal Budaya Domyak

Komunitas Pena dan Lensa Lakukan “Jarambah Lur” ke Desa Pasir Angin untuk Riset Awal Budaya Domyak