Daridesa.com | Opini – Khalid Bin Walid atau Abu Sulayman Khalid ibn al-Walid ibn al-Mughirah al-Makhzumi, atau juga dikenal dengan ‘Pedang Alloh Yang Terhunus’. Selain dikenal sebagai Sahabat Nabi beliau juga dikenal sebagai salah satu panglima perang kaum muslimin yang termahsyur dan ditakuti di medan tempur. Khalid merupakan panglima perang yang tidak pernah mengalami kekelahan sepanjang karirnya.
Diceritakan dalam perang Mu’tah, yang merupakan perang paling tdk logis yg dicatat sejarah. Karena 3.000 Muslimin hrus melawan 200.000 pasukan Romawi. Tentara musuh dengan jumlah yang sangat banyak tersebut mengharuskan seorang tentara muslmin melawan puluhan tentara musuh. Akan tetapi, tentara Allah yang memiliki kekuatan iman dan semangat jihad untuk meraih kemulian mati syahid tidak merasakannya sebagai beban berat bagi mereka sebab kekuatan mereka satu banding sepuluh –sebagaimana digambarkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat.
“Jika ada di antara kalian 20 orang yang bersabar maka akan mengalahkan 200 orang.” (QS. Al Anfal: 65)
Peperangan berkecamuk dengan dahsyat. Pusat perhatian musuh tertuju kepada pembawa bendera kaum muslimin dan keberanian para panglima Islam dalam maju memerangi musuh, hingga mati syahidlah panglima pertama, Zaid bin Haritsa radhiallahu ‘anhu. Lalu bendara perang diambil oleh panglima kedua, Ja’far bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Beliau berperang habis-habisan hingga tangan kannya terputus, lalu bendera dibawa dengan tangan kirinya hingga terputus pula dan merangkul bendera dengan dadanya hingga terbunuh.
Sebagai balasannya, Allah menggantikan kedua tangannya dengan dua sayap agar di surga ia dapat terbang ke mana saja. Setelah beliau syahid ditemukan pada tubuhnya terdapat 90 luka lebih antara tebasan pedang, tusukan panah atau tombak yang menunjukkan keberaniannya dalam menyerang musuh.
Kemudian bendera perang dibawa oleh panglima ketiga. Abdullah bin Rawahah radhiallahu ‘anhu dan berperang hingga mati syahid menyusul kedua rekannya. Agar bendera perang tidak jatuh maka mereka mengangkatnya dan bersepakat untuk menyerahkannya kepada Khalid bin Walid radhiallahu ‘anhu, maka beliau membawa bendera perang.
Setelah peperangan yang luar biasa, keesokan harinya Khalid radhiallahu ‘anhu –dengan kecerdasan siasat baru dengan mengubah posisi pasukannya dari semula; yaitu pasukan depan ke belakang dan sebaliknya, pasukan kanan ke kiri dan sebaliknya, sehingga tampak bagi musuh bahwa kaum muslimin mendapat bantuan tentara yang baru dan menimbulkan rasa takut dalam hati mereka dan menjadi sebab kekalahan mereka.
Setelah berperang lama, Khalid radhiallahu ‘anhu menilai bahwa kekuatan musuh jauh tidak sebanding dengan kekuatan kaum muslimin. Maka beliau menarik mundur pasukannya dengan selamat hingga ke Madinah, sedang musuh tidak mengejar mereka karena khawatir kalau-kalau ini dilakukan oleh kaum muslimin sebagai siasat perang untuk mengajak Romawi menuju medan perang yang lebih terbuka di padang pasir –yang akan merugikan Romawi.
Dalam perang ini, Khalid radhiallahu ‘anhu berperang habis-habisan hingga sembilan pedang patah di tangannya. Ini menunjukkan betapa besarnya peperangan tersebut dan betapa besar perjuangan para sahabat demi Islam. Sekalipun demikian dahsyatnya peperangan Mu’tah, sahabat yang mati syahid hanya dua belas orang, dan mereka memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah. Adapun pasukan musuh tidak dapat dipastikan bilangan mereka yang terbunuh, tetapi diperkirakan sangat banyak. Hal ini dapat diketahui dari hebatnya peperangan yang terjadi.
Sekarang kita sedang berperang melawan wabah Covid-19, kita juga dihadapkan dengan berbagai pemberitaan media yang membuat kita semakin cemas. Bukan malah menguatkan Iman kita. Kita juga tidak diedukasi secara komprehensif, kita hanya dihimbau untuk melakukan pembatasan sosial, sementara keluarga kita perlu makan.
Pemerintah sebagai salah satu Panglima perang tidak menunjukan kebijakan yang berani dengan penuh keyakinan bahwa kita akan menang. Mereka hanya memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar dengan berbagai stimulus yang tidak paripurna dan menyentuh semua kalangan Masyarakat. Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota mulai beramai-ramai mengeluarkan bantuan utuk Masyarakat.
Sementara data tentang siapa yang berhak menerima masih banyak yang tidak tepat sasaran. Respon dari mereka yang tidak terdata sudah banyak bertebaran di media sosial terutama Facebook. Jika situasi sudah dalam keadaan genting bayangkan oleh kita sendiri akan seperti apa respon mereka, sementara kaitannya dengan perut dan keberlangsungan hidup mereka. Negara bisa chaos. Oleh karena itu data harus benar-benar tepat dan akurat. Masyarakat yang berhak menerima harus tercatat. Sosialisakan dari sekarang oleh Pemerintah terdekat kepada mereka yang berhak menerima dan tidak berhak menerima, berikan alasan yang dapat diterima oleh mereka, terutama oleh yang tidak berhak shingga ini tidak akan menjadi bom waktu.
Pembatasan Sosial Berskala Besar tersebut diberlakukan oleh Pemerintah berdasar pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, dan peraturan pelaksana berupa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam penangana Covid-19. Apabila mengacu kepada peraturan-peraturan tersebut maka yang berhak memberlakukan adalah Presiden melalui Menteri Kesehatan sebagai ketua Pelaksana.
Gubernur, Bupati, Walikota bisa melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar dengan melakukan usulan terlebih dahulu kepada Menteri Kesehatan. Yang menjadi lucu adalah banyaknya Kepala Daerah bahkan Kepala Desa yang tidak disebutkan oleh Undang-Undang mulai melakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar tanpa mengajukan usulan terlebih dahulu. Ini menunjukan bahwa mereka sebagai panglima perang tidak disiplin dan teratur dalam melaksanakan komando Panglima Besar dalam hal ini Presiden. Sehingga kewibawaan Presiden sebagai Panglima Besar juga patut dipertanyakan.
Jika kita perhatikan, salah satu alasan Kepala Daerah mengambil keputusan sendiri untuk mengkarantina wilayahya karena melihat Kebijakan Presiden sebagai Panglima Besar terkesan setengah hati.
Dia tidak berani melakukan karantina total minimal 14 hari sesuai anjuran ahi medis, karena pertimbangan konsikuensi ekonomi yang akan dihadapi terutama anggaran Negara yang harus disiapkan. Akan tetapi dalam situasi seperti ini memang harus ada yang dikorbankan, demi menjaga kepentingan yang lebih besar. Sebagaimana yang pernah dianjurkan Rasululloh ratusan abad yang lalu bahwa cara unutuk menghadapi wabah adalah dengan karantina total “Kalian tidak boleh masuk ke daerah itu, dan orang yang berada di daerah itu tidak boleh keluar”.
Dengan kebijakan yang setengah hati seperti sekarang, jumlah orang yang terkonfirmasi positif malah semakin banyak bukannya berkurang. Jika seperti itu maka Pemeritahah akan cape dua kali, anggaran yang sudah ditetapkan tidak akan efektif dikarenakan mata rantai penyeberan yang tidak terputus karena masih adanya interaksi Masyarakat. Di sisi lain Pemerintah akan mulai tersadar bahwa mereka harus segera mengkarantina total, tapi dsisi lain juga mereka akan dihadapkan dengan anggaran yang semakin menipis. Oleh karena itu Presiden sebagai Panglima Besar harus segera berani mengeluarkan kebijakan untuk mengkarantina total, sebagaimana anjuran Rosululloh yang sudah mengingatkan ratusan abad lalu. Akan tetapi karantina total jiga tidak akan sukses jika tidak dipatuhi oleh Masyarakat dan tidak didukung oleh para pemangku termasuk Kepala Daerah.
Ulama dan media yang merupakan penjaga gawang sosial juga tidak berperan aktif dalam membetuk kayakinan Masyarakat, mereka tidak menguatkan mental kita bahwa kita mampu, bahwa kita akan menang menghadapi peperangan ini. Ulama malah menunjukan ketidak kompakannya, berebut aturan, berebut penafsiran, seperti yang satu memperbolehkan menunda sholat jum’at tapi yang satu tetap mewajibkan. Mana yang harus kami taati sebagai umat ?
Media ljuga lebih cenderung membuat pemberitaan yang malah membuat Masyarakat semakin cemas, diberitakannya korban yang semakin bertambah, diberitakannya penyiapan lahan makam yang begitu luas oleh suatu Daerah, diberitakannya efek wabah yang sangat mengerikan jika kita terjangkit. Jika Pemberitaan tersebut bertujuan untuk membuat Masyarakat berhati-hati, kenapa tidak diimbangi dengan penguatan mental masyarakat.
Secara medis, imunitas akan berkerja optimal jika psikologis kita stabil, pikiran kita tenang, maka perlu hadirnya penguatan iman. Mau stabil bagaimana psikologis kita jika media terus menerus membuat cemas. Mau ada penguatan iman bagaimana jika ulama masih sibuk berebut aturan.
Ada yang lebih lucu lagi yaitu Pemerintah tingkat bawah. Mereka ada yang sibuk mengkarantina wilayahnya padahal tidak diberikan kewenangan oleh Undang-Undang. Setiap yang masuk disemprot badannya dengan disinfektan, padahal menurut medis disinfektan bukan untuk manusia tapi untuk permukaan benda-benda mati. Mereka mulai ramai-ramai membuat posko covid-19, menyusun anggaran untuk pengadaan berbagai APD, memasang himbauan dari selembar kertas untuk segera melapor ketika pulang dari daerah lain. Kenapa jadi Masyarakat yang harus melapor ? Tidak bisakah mereka inisiatif untuk mencatat sendiri ? kemudian pantau dan perhatikan betul kesehatan masyarakatnya ?.
Jika kita bandingkan bagaimana sikap para panglima perang Mu’tah, dan sikap para panglima kita dalam perang melawan wabah corona, itu sangat teramat jauh. Salah satu panglima perang Mu’tah ada yang meninggal dengan 90 luka lebih diantara tebasan pedang, menunjukan keyakinan dan semangat yang begitu tinggi. Semetara para panglima perang kita belum menunjukan keyakinan yang kuat, mereka seakan setengah hati dalam mengeluarkan kebijakannya, mereka juga tidak membangun mental pasukannya, mereka tidak berusaha untuk terus menerus membangun kayakinan kita, bahwa kita mampu, bahwa kita pasti menang melawan wabah ini. Mereka seakan bekerja sendiri-sendiri sementara musuh yang kita hadapi sangat kuat, sudah ratusan ribu yang gugur di medan tempur oleh wabah ini.
Ketahuilah saudara-saudaraku, setajam apapun pedang yg dipakai oleh Khalid bin Walid, sebanyak apapun tentara muslimin, dan sekuat apapun lawan yang mereka hadapi, Khalid tidak akan pernah kalah. Kuncinya terletak pada kesungguhan, pada keyakinan, pada iman, pada kedisiplinan, disertai dengan taktik dan strategi cerdik dalam mengorganisir yang sedikit dan yang banyak.
Mari saudara-saudaraku kita kuatkan keyakinan kita, kita lawa bersama wabah ini, percayalah jika kita mampu, yakinlah jika kita akan menang. Jangan pernah takut, karena kekalahan paling mutlak adalah ketakutan itu sendiri.
Penulis: Ihsan Hidayat, SH.