Opini, daridesa.com – Indonesia adalah negara yang berasaskan demokrasi. Suara rakyat adalah suara Tuhan, dari pemilihan kepala negara atau biasa disebut dengan presiden hingga pemilihan kepala desa atau kelurahan itu akan dipilih oleh semua masyarakat yang sudah berhak memilih. Calon pemimpin yang memperoleh suara terbanyak akan dianggap sah menjadi pemimpin selama periode berlaku.
Sekilas cara pemilihan pemimpin seperti ini efektif, karena setiap golongan dan kalangan bisa saja menjadi pemimpin, namun pada faktanya kerap sekali orang-orang yang mencalonkan diri untuk menjadi pemimpin menggunakan cara-cara yang tidak sehat. Tidak hanya itu, bahkan kepemimpinan yang sedang diembannya juga disalahgunakan untuk mempertahankan kekuasaannya agar terus berlanjut. Berbagai cara akan mereka lakukan untuk terus berkuasa. Bahkan sekalipun dalam skala desa atau kelurahan. Sama saja, rakyat kecil semakin mengecil oleh penguasa yang semakin membesar.
Money politik dan politisasi bantuan sosial sudah menjadi metode yang sangat lumrah dilakukan untuk memperoleh suara yang banyak. Sementara masyarakat yang memang awam akan memilih mereka yang bisa memberi makan dan uang, walaupun itu hanya sekali seumur hidup. Anehnya kenapa masyarakat desa takut untuk bersuara? Kita merasa kenyang dengan bantuan yang kerap digilir, kita merasa kenyang dengan fasilitas kesehatan yang seadanya, dan kita juga merasa terbantu dengan pelayanan yang pandang bulu. Itukah kesejahteraan? Dan itukah keadilan sosial?.
Mana hak kita atas lingkungan hidup yang sehat, jika puskesmas saja susah untuk dijangkau?
Mana hak kita atas informasi dan transparansi, jika menanyakan program dan alokasi anggaran saja kita dibungkam seolah ingin merampok?
Mana hak kita atas pemanfaatan sumber daya alam? Jika air dan pengelolaan wisata alam saja itu dipindah tangankan ketangan investor asing?
Mana hak kita untuk mendapatkan pelayanan publik, jika membuat KTP saja harus bayar dan menunggu dengan waktu yang sangat lama?
Mana hak kita untuk ikut serta dalam proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan desa, jika musyawarah dusun saja tidak ada?
Mana yang namanya keadilan itu? Mana?
Peduli? Saya rasa itu pencitraan. Sama saja
Pengurus Desa? Saya rasa istilah khosimisme itu lebih tepat untuk penguasa desa yang melakukan apapun untuk memperkaya diri dan keluarganya, dan akan melakukan apapun juga untuk mempertahankan kekuasaannya agar terus bertahan.
Apakah desa kalian sama?
Penulis: Isa
Berita Dari Desa | Membaca kampung Halaman