Opini, daridesa.com – Sejak pertama kali Covid-19 mulai menyebar di kota Wuhan, Tiongkok pada November 2019, angka peningkatan kasus ini terus meningkat di Indonesia setelah kasus positif pertama terjadi pada bulan Maret 2020. Berbagai bidang telah mengalami dampak penurunan pendapatan akibat pandemi berkepanjangan ini, terutama sektor pariwisata yang sejak beberapa tahun terakhir sedang mengalami pelonjakan minat dari masyarakat baik mancanegara maupun domestik. Bahkan, pihak pemerintah harus menekankan kepada aparat negara untuk melakukan perjalanan bisnis sebelum akhir tahun tiba.
Pemerintah telah menyiapkan anggaran intensif sektor pariwisata yang bernilai Rp3,8 triliun melaui subsidi hingga pengurangan pajak penghasilan (PPh). Bagi masyarakat yang saat ini bisa dikatakan untuk berusaha bertahan hidup saja kesulitan akibat PHK, pengurangan pendapatan, dan kerugian finansial lainnya, berita ini dinilai sangat tidak menguntungkan mereka. Bagaimana bisa negara membiarkan rakyat kecil untuk menderita, sedangkan para abdi negara yang seharusnya bertugas melayani rakyat dibiarkan bersenang-senang dalam situasi genting ini?
Konteks bersenang-senang ini tidak sepenuhnya dapat dinilai benar karena salah satu tujuan yang hendak dicapai adalah memulihkan kembali ekonomi negara melalui pariwisata. Akan tetapi, rakyat tetap merasa kecewa karena anggaran tersebut tentunya bisa dialihfungsikan untuk menyesuaikan keadaan negara saat pandemi ini dengan bantuan ekonomi dan fasilitas kesehatan. Padahal, alokasi dana untuk peristiwa tidak terduga, seperti pandemi saat ini, telah memiliki alur dan prosesnya tersendiri.
Sisi lain yang mungkin disalahartikan lainnya adalah tujuan pemerintah untuk tetap fokus dalam sektor pariwsata karena penurunan kunjungan wisata dapat mempengaruhi total pendapatan devisa yang diperkirakan turun dari 21 miliar US dollar menjadi 15 miliar US dolar. Selain itu, ASITA memaparkan bahwa penurunan kunjungan turis domestik telah berkurang sebanyak 183 juta orang dari 303 juta jumlah tahun lalu menjadi 120 juta. Memahami data tersebut, pemerintah tidak bisa disalahkan sepenuhnya atas jadwal anggaran tahunan mereka yang tetap harus dioperasikan tersebut.
Langkah penggerak pariwisata ini dapat disimpulkan sebagai keputusan besar untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia yang terpuruk. Akan tetapi, pemerintah perlu untuk lebih mengedukasi masyarakat dan memberikan pemahaman mengenai pentingnya kegiatan wisata tetap berlangsung agar tidak salah kaprah. Meskipun awalnya masyarakat mengecamnya, kerja nyata yang diiringi bukti transparan dalam kinerja ini dapat membungkam suara-suara kontra akan strategi ini nantinya apabila berhasil dicanangkan.
Mengikuti arus pariwisata intensif pandemi ini, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif membentuk strategi quality tourism yang memfasilitasi jumlah wisatawan terbatas, tetapi mampu mengeluarkan anggaran lebih besar. Wisata domestik yang menjadi pasar awal aplikasi ini menunjukkan pergerakan kembali dengan hotel yang mulai mengalami peningkatan okupansi ataupun wisata daerah yang kini menjadi tujuan aman di kala pandemi. Dengan demikian, wisata domestik yang menguat dan terstruktur tersebut dapat mempercepat pemulihan pariwisata nasional.
Keberhasilan quality tourism tentu saja dapat digenggam dalam beberapa tahun ke depan atau bahkan kurang dari empat tahun asalkan dijalankan dengan kesungguhan, sesuai kondisi, mampu berinovasi, dan tetap mengutamakan protokol kesehatan dan keamanan sebelum langkah lainnya terpenuhi. Apabila penyedia jasa mampu menyelaraskan hal-hal tersebut, masyarakat akan memiliki kepercayaan tersendiri untuk melakukan perjalanan wisata.
Salah satu contoh wisata domestik yang berpeluang pulih cepat dalam strategi quality tourism ini adalah pariwisata ramah muslim. Menelaah mayoritas masyarakat Indonesia yang beragama muslim, hal ini dapat menjadi acuan dalam berinovasi ke depannya. Produk wisata halal yang bisa dinikmati berbagai kalangan mampu menjadi solusi dalam terobosan pandemi saat ini.
Minat kecenderungan masyarakat yang ingin berpergian, tetapi masih memedulikan kemungkinan Covid-19 dapat diarahkan dengan kemah, karavan keluarga, kapal pribadi, hotel butik, dan vila. Pariwisata ramah muslin ini tergolong dalam kategori pelayanan pariwisata tanpa alkohol, spa privat, dan kolam renang yang secara khusus dibedakan untuk laki-laki dan perempuan. Sektor pariwisata halal tidak merugikan investornya karena dapat bercabang ke beragam bentuk pelayanan.
Penulis: Sekar Langit Maheswari mahasiswa Bisnis Perjalanan Wisata Universitas Gadjah Mada.
Berita dari desa | Membaca kampung halaman