Ketika anak belum bisa membaca, maka kita gagal di hal paling dasar. Apakah kurikulum kita sudah benar-benar merdeka? Angka-angka statistik menunjukkan bahwa indeks aktivitas literasi membaca di Indonesia baru mencapai 38,1% (BPS, 2024). Ini berarti sebagian besar anak Indonesia masih kesulitan membaca, memahami, dan memaknai informasi tertulis.
Ironisnya, hanya 17,21% anak yang dibacakan cerita oleh orang tua, dan hanya 11,12% yang belajar atau membaca buku bersama orang tua di usia dini. Padahal, kebiasaan kecil ini sangat berpengaruh terhadap fondasi literasi anak.
Realita di lapangan juga menunjukkan bahwa banyak anak yang belum bisa membaca dengan lancar. Di sebuah SD negeri, hampir 30% siswa masih terbata-bata, kesulitan mengeja, bahkan ada yang belum mengenal huruf sama sekali. Ini bukan fenomena tunggal, melainkan cerminan dari banyak wajah murid di berbagai daerah.
Kurikulum Merdeka yang kita miliki saat ini memang menjadikan literasi dan numerasi sebagai fondasi utama pembelajaran. Namun, di antara semangat kebijakan dan realita di ruang kelas, ada celah yang belum terjembatani. Literasi bukan hanya kemampuan teknis membaca huruf demi huruf, tetapi kemampuan untuk memahami dunia.
Maka, kita perlu memperhatikan beberapa hal:
Literasi dan numerasi bukan slogan, tetapi hak dasar anak untuk memahami dunia dan menavigasi hidupnya dengan percaya diri. Jika masih ada anak kelas dua SD yang belum mengenal huruf, maka sesungguhnya belum merdeka pendidikan kita. Kemerdekaan belajar dimulai dari kemampuan membaca dan memahami bahwa setiap anak berhak belajar sesuai kecepatannya.
Penulis : Elvia Hani Marlina, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung