Daridesa.com | Purwakarta – Ranca Darah adalah nama suatu tempat yang terletak antara Purwakarta dan Wanayasa. Ranca kalau di terjemahkan ke dalam bahasa indonesai artinya adalah rawa. Ranca Darah berarti Rawa Darah. Mengapa daerah tersebut dinamakan Ranca Darah.
Disamping kisah misteri seperti penampakan sosok perempuan atau tentara Belanda dengan anggota badan tidak utuh. Jalan Rancadarah, Pondoksalam, Purwakarta ternyata menyimpan kisah sejarah.
Konon, zaman dahulu ketika Indonesia sedang dijajah oleh Belanda (tahun 1710an). Belanda (VOC) menjadikan Wanayasa sebagai daerah perkebunan teh dengan pekerja yg berasal dari Cina Makao.
Namun karena penjajah berlaku sewenang-wenang seperti upah murah dengan berbagai potongan yg sangat merugikan. Sebagai bentuk protes dan perlawanan, para pekerja ini pada tanggal 8 dan 9 Mei 1832 melakukan kerusuhan besar-besaran di Daerah Wanayasa dan Purwakarta.
Kepala pengurus perkebunan teh yang berada di Daerah Wanayasa saat itu bernama Sheper Leau terbunuh dan mayatnya dibuang ke dalam hutan yang dikenal dengan sebutan Hutan Ciperlaw. Tempat mayat tersebut diberi ciri dengan batu besar yang sampai sekarang dikenal dengan “Batu Tanceb” yang berada di Desa Cibeber, Kecamatan Kiarapedes.
Puncaknya, pada 10 Mei 1832, pekerja Tionghoa yang berada di Wanayasa beramai-ramai pergi menuju Purwakarta untuk mengalahkan para penjajah Belanda. Ditengah-tengah perjalanan yang tepatnya di tanjakan Pasirpanjang, rombongan-rombongan pekerja perkebunan teh itu bertemu dengan pasukan VOC dari Purwakarta yang bermaksud meredam kerusuhan yang terjadi di daerah Wanayasa.
Hingga terjadi pertempuran antara pekerja perkebunan teh dengan Belanda. Banyak sekali korban yang berjatuhan, sampai sepanjang jalan yang jauhnya sekitar setengah kilometer penuh oleh mayat-mayat yang bergeletakan dengan anggota tubuh terkoyak senjata tajam & senapan, darah berceceran dimana-mana hingga menyerupai seperti rawa-rawa.
Mayat-mayat tersebut dibuang ke sebuah lembah di sekitar Rancadarah. Bahkan karena saking banya korban, harus menggunakan sigay, yakni tangga bambu menyadap nira enau. Maka daerah itupun dinamai Legok Sigay.
Setelah kejadian tersebut, jalan Pasripanjang tersebut dikenal dengan Rancadarah. (alpiadi/UP/Red)
Kabar dari desa | Membaca kampung halaman