Opini, daridesa.com – Virus Corona yang sedang terjadi pada saat ini mengharuskan pemerintah untuk melakukan lockdown serta tindakan karantina karena adanya virus yang berbahaya dan telah memakan banyak korban di berbagai negara. Sejumlah negara juga memutuskan untuk menutup akses keluar-masuk di wilayah negara mereka sehingga banyak perjalanan wisata yang terpaksa harus dibatalkan dan gagal sampai batas waktu yang belum bisa ditentukan. Imbasnya, hal ini memengaruhi perusahaan di berbagai industri, terutama industri pariwisata yang mengalami kehancuran karena minimnya aktivitas pariwisata yang dapat dilakukan oleh para pelaku wisata.
Tindakan karantina ini membuat aktivitas masyarakat harus dilakukan dengan menjaga jarak antara orang yang satu dengan orang yang lain serta dilakukan melalui perantara teknologi agar menghindari adanya aktivitas dalam suatu kerumunan orang. Adanya perkembangan dan kemajuan teknologi yang cepat pada masa ini dapat menjadi solusi utama untuk permasalahan yang ada. Untuk memulihkan dampak di industri pariwisata, teknologi yang tepat dan berguna adalah dengan melalui pemanfaatan teknologi Virtual Reality (VR).
Virtual Reality mengacu pada gambar atau video interaktif yang memungkinkan seseorang menjelajahi pemandangan 360 derajat. Tidak seperti gambar video biasa yang mengambil titik pandang tetap, Virtual Reality menangkap setiap bagian dari suatu lokasi. Dalam industri pariwisata, Virtual Reality atau biasa disebut dengan Virtual Tur dapat digunakan untuk melihat destinasi wisata dengan cara yang unik dan imersif. Dengan teknologi ini, seseorang dapat melakukan perjalanan wisata tanpa harus berada di destinasi tersebut. Selain melakukan perjalanan wisata dan mengunjungi pemandangan melalui layar yang memanfaatkan video Virtual Tur, para wisatawan juga dapat merasakan sensasi seperti berada di tempat destinasi tersebut karena video di dalam Virtual Tur tidak hanya menyajikan keindahan destinasinya saja tetapi juga dilengkapi dengan melodi alam khas dari destinasi yang ditawarkan tersebut.
Pada era pandemi seperti saat ini, sangat penting bagi para pelaku industri pariwisata untuk terus mencari solusi dan meningkatkan inovasi agar industri pariwisata ini dapat diselamatkan dan tidak mengalami kehancuran secara terus-menerus. Sama seperti sektor industri lain, industri pariwisata perlu mengambil tindakan konsep “New Normal” dengan cara penerapan Virtual Tur karena dengan teknologi ini, setidaknya para wisatawan dan pelaku wisata lainnya dapat tetap melakukan aktivitas seperti biasa meskipun dengan pengalaman yang berbeda dari aslinya.
Virtual Tur sebenarnya sudah diterapkan dalam industri pariwisata sejak beberapa tahun yang lalu, namun aktivitasnya masih stagnan dan kurang diminati. Karena adanya pandemi ini, beberapa negara termasuk Indonesia mulai menyeriusi Virtual Tur sebagai salah satu upaya untuk memulihkan pariwisata di era ini. Dan hal penggunaan teknologi ini terus meningkat dilihat dari banyaknya pemakaian Virtual Tur sebagai pengganti perjalanan wisata mereka.
Tentunya Virtual Tur hadir bukan tanpa manfaat. Teknologi ini dapat memainkan dua peran penting untuk kemajuan industri pariwisata. Yang pertama, dapat membantu sebagai alat pemasaran dan promosi suatu destinasi dengan cara memperkenalkan dan memperlihatkan lokasi tersebut kepada para wisatawan yang menggunakan teknologi ini. Para wisatawan ini akan mendapatkan gambaran awal sebelum nantinya memutuskan untuk berlibur ke destinasi tersebut atau tidak. Dan yang kedua, sebagai salah satu cara melakukan perjalanan wisata pada masa pandemi untuk hiburan semata.
Dengan ini, siapapun dapat melakukan perjalanan wisata dengan menggunakan teknologi Virtual Tur ke destinasi yang mereka impikan. Meskipun begitu, Virtual Tur tentunya tetap berbeda dengan pengalaman nyata ketika berwisata. Namun, cara ini dinilai tepat pada saat pandemi mengingat karantina mengharuskan kita untuk tidak banyak melakukan aktivitas yang melibatkan banyak orang.
Penulis: Nur Aliza, mahasiswa Universitas Gadjah Mada, mahasiswa Universitas Gadjah Mada
Berita dari desa | Membaca kampung halaman