Opini, Daridesa.com – Akhir-akhir ini di tengah pandemi tersiar kabar beberapa penyintas pelecehan seksual mulai berani menyuarakan apa yang telah dialaminya. Kabar pelecehan seksual datang dari universitas yang terkenal dengan simbol jaket kuningnya.
BEM UI melalui akun Instagramnya mengabarkan bahwa terdapat 5 kasus kekerasan seksual yang terjadi dan dialami oleh mahasiswa/i di kampus Universitas Indonesia (baca: di Instagram @bemui_official).
Tak hanya Universitas Indonesia, Universitas Islam Indonesia pun diterpa kabar kekerasan seksual yang dilakukan oleh alumnus jurusan Arsitektur angkatan 2012 yang lulus pada tahun 2016. Kabar tersebut pertama kali mengemuka melalui pers rilis yang dikeluarkan oleh Aliansi UII Bergerak.
Dua tahun lalu pun juga terjadi kasus kekerasan seksual yang dialami oleh mahasiswi Universitas Gadjah Mada saat melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) di Pulau Seram, Maluku. Kasus ini menguak dan viral di media sosial setelah Balairung Press UGM menerbitkan berita kronologisnya.
Menurut survei Koalisi Ruang Publik Aman yang dilakukan pada 2018, terdapat 62.224 responden di 24 Provinsi di Indonesia, dari responden tersebut 15 persen mengalami kejahatan seksual di kampus dan sekolah.
Pada 2018 BEM Fakultas Hukum UI melakukan survei terhadap 177 responden yang didominasi oleh mahasiswa FH UI. Berdasarkan hasil survei tersebut terdapat 22 responden yang pernah mengalami pelecehan dan kekerasan seksual, dan ada 45 orang yang mengetahui kasus kekerasan seksual.
Pada tahun 2019 kolaborasi #NamaBaikKampus melakukan testimoni kekerasan seksual yang disebar ke publik melalui media sosial. Dari 207 orang yang memberikan testimoni, terdapat 174 kasus yang berhubungan dengan institusi perguruan tinggi. Kasus-kasus kekerasan seksual itu terjadi di kampus atau dilakukan oleh civitas academica di luar kampus dalam acara-acara resmi, seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN), magang, atau acara kemahasiswaan.
Dari data di atas menunjukkan bahwa kekerasan seksual sering terjadi di ruang publik, khususnya perguruan tinggi. Baik itu yang terjadi di lingkungan kampus, maupun di luar kampus dengan melibatkan civitas academica. Perguruan tinggi merupakan institusi pendidikan yang memiliki nilai-nilai luhur dan menjunjung tinggi ilmu pengetahuan serta hak asasi manusia. Namun mengapa kekerasan seksual sering terjadi di perguruan tinggi?
Relasi Kuasa dan Nama Baik Kampus
Beragam kasus kekerasan seksual yang terjadi di kampus tak pernah terselesaikan dan birokrat kampus tidak memberikan sanksi tegas terhadap pelaku. Seperti yang terjadi di Universitas Sumatera Utara, Medan, kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisipol) belum terselesaikan. Dekanat kurang proaktif dalam merespon kasus tersebut, dekan hanya memberikan sanksi skorsing kepada dosen cabul tersebut. Surat keputusan skorsing yang dikeluarkan oleh dekanat pun hanya ditulis tangan, tanpa kop dan tanda tangan dekan. Namun setelah keputusan tersebut keluar, penyintas masih sermpat melihat dosen cabul tersebut di kampus beberapa kali.
Apa yang terjadi di FISIP Universitas Sumatera Utara kerap kali disebut dengan relasi kuasa. Secara bahasa, relasi artinya ‘hubungan/perhubungan’ sedangkan kuasa merupakan ‘wewenang atau kemampuan untuk berbuat sesuatu’. Relasi kuasa dalam kekerasan seksual kerap terjadi di lingkungan kampus, misalkan kekerasan seksual dilakukan oleh dosen kepada mahasiswi, pejabat kampus kepada mahasiswi, atasan kepada bawahan, dan pelaku lainnya yang memiliki kuasa di dalam suatu relasi/hubungan.
Relasi kuasa ini yang menyebabkan kekerasan seksual kerap terjadi, seperti yang dialami oleh mahasiswi Universitas Sumatera Utara. Penyintas awalnya ingin memperbaiki nilai mata kuliah kepada dosen yang bersangkutan, dan dosen tersebut mengabulkan permintaannya dengan syarat penyintas mesti menemaninya untuk meninjau lokasi penelitian yang kebetulan tempatnya tak jauh dari kampung penyintas.
Bagi penyintas sangat sulit untuk menolak permintaan dosen tersebut karena ia membutuhkannya untuk memperbaiki nilai, meskipun apa yang diminta dosen tidak berkaitan dengan mata kuliah. Maka timbullah relasi kuasa, dosen tersebut merasa memiliki wewenang atas mahasiswinya dan menyebabkan terjadinya kekerasan seksual.
Relasi kuasa juga kerap menjadi batu besar penghalang untuk menyelesaikan kasus kekerasan seksual. Tak sedikit penyintas yang takut untuk melaporkan kasusnya karena pelaku melakukan intimidasi dan ancaman. Ancaman itu bisa berupa: pengurangan nilai mata kuliah hingga akan dikeluarkan dari kampus.
Birokrat kampus seolah saling melindungi rekan kerjanya yang terlibat dengan masalah. Hal tersebut terbukti, tidak proaktifnya pihak kampus dalam menangani setiap kasus kekerasan seksual hingga memberikan sanksi yang ringan kepada pelaku.
Tak hanya relasi kuasa yang menyebabkan banyaknya kekerasan seksual di perguruan tinggi, nama baik kampus pun menjadi salah satu faktornya. Banyak kasus kekerasan seksual yang kerap disimpan dan ditutup rapat-rapat dari pihak luar kampus. Alasannya pun cukup sederhana, hal tersebut dilakukan hanya demi nama baik kampus agar tidak tercemar menjadi buruk citranya di luar sana.
Penyelesaian kasusnya pun dilakukan secara diam-diam, tanpa disaksikan oleh warga kampus, dan tidak transparan. Hal ini tentu untuk menghindari semakin banyak orang yang mengetahui kasus tersebut. Penyintas dibiarkan sendiri tanpa pendampingan dan kasus kerap berujung pada perdamaian serta perjanjian antara ke dua belah pihak.
Tentu penyelesaian kasus seperti itu tidak membuat penyintas puas, justru sebaliknya: pelaku lebih diuntungkan, dan berpotensi akan terulang kembali kejadian serupa karena tidak ada sanksi tegas–tidak memberikan efek jera–kepada pelaku.
Penyelesaian kasus seperti ini akan memberikan efek domino kepada pelaku-pelaku lain, untuk melakukan hal yang serupa. Karena mereka menganggap tak akan ada sanksi yang berat, jika ia melakukan kekerasan seksual.
Regulasi Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual
Berdasarkan hasil survei BEM FH UI, sebanyak 79% orang tidak mengetahui harus melaporkan kepada siapa dan mesti pergi kemana ketika ia tengah mengalami kekerasan seksual. Hal ini membuktikan bahwa penanganan kasus kekerasan seksual masih terdengar asing dan tak pernah diketahui oleh mahasiswa.
Mereka yang tidak mengetahui harus kemana untuk melapor ketika mengalami kekerasan seksual bukan karena kurangnya sosialisasi mekanisme penanganan kasus, namun memang belum ada mekanisme khusus yang mengatur pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual. Sehingga membuat penyintas kebingungan harus kemana, dan hal ini akan berefek pada enggannya penyintas untuk melaporkan kasusnya.
Padahal dengan adanya regulasi pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual, akan membuka peluang besar bagi penyintas untuk mendapatkan keadilan dalam penyelesaian kasusnya. Faktanya, universitas di Indonesia masih sangat sedikit yang menerapkan regulasi khusus pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual. Baru beberapa kampus yang menerapkannya, di antaranya: Universitas Indonesia, UGM, Fakultas Film dan Televisi Institut Kesenian Jakarta (FFTV-IKJ), dan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam atau universitas yang berada di bawah Kementerian Agama (Kemenag).
UI membuat Buku Saku Pedoman Penanganan Kekerasan Seksual dan memiliki posko pengaduan kekerasan seksual, UGM menerapkan aturan tersebut melalui Surat Keputusan Rektor, sejak awal tahun 2020 setelah kasus Agni menguak ke publik, Dekan FFTV-IKJ mengeluarkan surat edaran untuk para dosen dan mahasiswa, surat itu mengatur sanksi terhadap pelaku berupa: surat teguran, skorsing atau dikeluarkan (DO), dan surat keputusan Direktur Jendral Pendidikan Islam nomor 5494 tahun 2019 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual Pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) sebagai pihak yang menaungi kampus-kampus di seluruh Indonesia belum memiliki aturan khusus penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus. M. Nasir, Menteri sebelumnya, menyerahkan sepenuhnya mekanisme penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus kepada rektor masing-masing universitas.
Bila memang regulasi tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab kampus, maka rektor mesti segera merancang aturan tersebut. Mahasiswa bisa ikut turut andil mendesak rektor untuk segera membuat regulasi serta mengawasi pembuatan aturan tersebut.
Regulasi penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus sangatlah penting untuk menjamin hak-hak penyintas dalam menyelesaikan kasus kekerasan seksual yang dialaminya. Regulasi yang jelas juga akan mempermudah penyintas dalam memperjuangkan haknya agar tercapai keadilan.
Tak hanya itu, dengan adanya regulasi akan memberikan sanksi tegas dan jelas kepada pelaku kekerasan seksual sehingga menimbulkan efek jera. Kekerasan seksual di kampus akan berkurang jumlahnya apabila tiap universitas memiliki regulasi penanganan mengenai kasus kekerasan seksual.
Profil penulis : Achmad Rizki Muazam, Aktif sebagai mahasiswa Informatika di Universitas Indraprasta PGRI, Jakarta. beliau memiliki akun media sosial yakni : Instagram @rizkimuazam atau twitter @muazzam1011
Berita dari desa – Membaca kampung halaman