Bekasi, daridesa.com – Peringatan Hari Lahir Pancasila ini sangat penting dalam rangka mengenang dan merefleksikan momentum sejarah dimana para Founding Father bangsa berhasil menggali nilai-nilai fundamental bangsa Indonesia sebagai dasar negara sehingga bangsa nusantara yang beragam dapat bersatu sebagai satu kebangsaan. Kamis, (01/06/23).
Saya acap kali tertawa kecil mendengar beberapa kelompok orang yang lantang berbicara di dunia nyata dan media sosial tentang penentangan mereka yang tipis terhadap Pancasila. Banyak dari mereka menganggap bahwa Pancasila tidak sesuai dengan syariat Islam. Saya juga seagama, dan tidak menemukan ajaran yang salah dalam isi Pancasila. Apa yang salah? Apakah karena Pancasila tidak ditulis dengan huruf Arab? Ataukah karena Pancasila itu buatan manusia? kita hidup di Indonesia, dan membaca Pancasila akan lebih sulit jika ditulis dalam bahasa Arab. Jika dengan tulisan yang kita baca setiap hari saja, ternyata banyak orang Indonesia yang sering lupa dengan isi Pancasila, lalu berapa banyak lagi orang yang akan melupakan negaranya sendiri? Dan bagaimana dengan orang-orang dari agama lain? Bukankah dalam ajaran Islam, toleransi atau saling menghargai begitu jelas dijelaskan“ Untukmu Agamamu, Untukku Agamaku” (Al-Kafiruun: 6), ujar pemuda yang sering disapa Kang Ridwan. Saya kira satu ayat saja sudah lebih dari cukup untuk menyadarkan akan pentingnya saling menghargai sesama, tandasnya. Jangan salahkan Soekarno dan kawan-kawan jika Pancasila dipilih jadi dasar negara. Karena, Negara yang kaya keanekaragaman ini memang pantas dengan itu. Berbicara tentang Pancasila, sudah tak bakal asing lagi jika kita membicarakannya.
Lanjut lagi pria yang aktif di kebudayaan, Dalam cerita pewayangan sendiri, istilah Layang Jamus Kalimusada terdapat dalam kisah pewayangan Baratayudha. Sebuah pusaka dalam dunia pewayangan yang dimiliki Prabu Yudhistira dari Negeri Amarta, pemimpin para Pandawa. Namun ada yang mengatakan juga kalau Layang Jamus Kalimusada itu singkatan dari Kalimah Syahadah yang kerap Sunan Kalijaga gunakan dalam menyampaikan dakwah lewat pagelaran wayangnya.
Layang Jamus Kalimusada berwujud kitab, suatu benda yang dikeramatkan di dalam negara atau kerajaan Amarta, warisan dari Semar Badranaya. Konon Jamus Kalimasada adalah pusaka untuk menangkal kesengsaraan, nasib celaka, bebendu atau hukuman dari Tuhan, tentu dengan syarat masyarakatnya mengamalkan isi-isi dari pusaka itu sendiri. Jamus Kalimusada diwahyukan kepada Pandawa Lima dan diteruskan kepada para putranya. Jadi para Pandawa Lima merupakan pengejawantahan dari panca indera manusia yang meliputi mata, hidung, telinga, lidah, dan kulit.
Tak perlu diragukan, masyarakat Jawa sangat terobsesi dengan cerita wayang. Kisah pusaka Layang Jamus Kalimusada lama terekam dalam memori kehidupan Jawa hingga sekarang dan bertransformasi menjadi rujukan hidup berbangsa dan bernegara. Di saat bangsa ini mengalami kegalauan di tengah situasi dan kondisi persiapan kemerdekaan. Saat bangsa ini belum bersatu sepenuhnya, Soekarno dan kawan-kawan berusaha keras mencari sesuatu yang dapat jadi pemersatu bangsa. Pemersatu bangsa yang bisa diterima oleh seluruh golongan di Nusantara, maka disusunlah alat pemersatu bangsa yang disebut Pancasila, yang roh ajarannya, saya pikir berasal dari Nilai Jamus Kalimusada.
Melanjutkan pengertian yang saya uraikan bahwa, kata kalima berarti ‘lima urutan atau lima sila’, maka kalimasada atau kalimausada adalah lima sila yang bisa kita gunakan untuk obat. Berhubung kalimusada adalah sebuah pusaka yang dimiliki oleh Prabu Yudhistira, yang konon merupakan salah satu pemimpin yang sangat arif dan bijaksana, bisa saya tafsir bahwa lima obat/nilai itu sesuai dengan apa yang tertera pada sila-sila yang terdapat pada Pancasila. Yang merupakan dasar bagi masyarakat Amarta dalam mengarungi kehidupan bernegara.
Lanjut Ridwan, Pancasila dan Kalimusada adalah sebuah mitologi yang sangat kokoh dan mendasar hingga bertumpu pada inti sari jagad alam semesta intisari bawana langgeng. Mitologi sila ini merupakan paradigma holistik sebagai pentas psikologis bagi Manusia yang sejatinya hanya sebagai Wayang yang diatur oleh Dalang (Sang Pencipta) guna melahirkan berbagai rumusan etika keperilakuan berkehidupan sosial.
Penulis: M. Ridwan Al Baasith (Aktivis Kebudayaan)
Berita Dari Desa | Membaca Kampung Halaman