Daridesa.com | Purwakarta – Perjalanan sejarah birokrasi di Indonesia tidak pernah terlepas dari pengaruh sistem politik yang berlangsung. Apapun sistem politik yang diterapkan selama kurun waktu sejarah pemerintahan di Indonesia, birokrasi memegang sentral dalam kehidupan masyarakat. Baik dalam sistem politik sentralistik maupun sistem politik yang modern sekalipun, keberadaan birokrasi sulit dijauhkan dari aktivitas-aktivitas dan kepentingan politik pemerintah.
Dengan kata lain, birokrasi menjadi sulit melepaskan diri dari jaring-jaring kepentingan politik praktis. Birokrasi yang seharusnya merupakan institusi pelaksana kebijakan politik, bergeser perannya menjadi instrumen politik.
Budaya feodalisme yang diwariskan dari tubuh birokrasi kolonial dan masa kerajaan dahulu kala, membawa berbagai konsekuensi terhadap penyelenggaraan birokrasi di masa kini. Akuntabilitas birokrasi hanya ditujukan kepada pejabat di atasnya, bukan kepada publik. Demikian pula loyalitas dan pertanggungjawaban aparat di tingkat bawah semata-mata hanya ditujukan kepada pimpinan di atasnya.
Aparat birokrasi di tingkat bawah hanya berupaya untuk selalu menjaga kepuasan pimpinan sehingga memunculkan budaya kerja yang selalu menyenangkan pimpinan, seperti membuat laporan kerja yang cenderung hanya menyenangkan pimpinan, berlomba-lomba menghormati pimpinan secara berlebihan guna mengambil hati pimpinan, dan lain sebagainya.
Perilaku feodalistik dalam birokrasi semacam ini memberikan dampak besar terhadap munculnya patologi birokrasi terutama praktik korup di dalamnya. Suburnya budaya pemberian uang pelicin, uang bensin,uang rokok, uang damai, atau praktik budaya tahu sama tahu, pada dasarnya merupakan bentuk korupsi yang terus terpelihara di tubuh birokrasi,meskipun sekecil apapun itu. Substansi dari praktik korupsi dalam birokrasi tak lain adalah bagian dari feodalisme yang menggerogoti sistem birokrasi.
Korupsi secara struktural juga diakibatkan oleh adanya faktor dominannya posisi birokrasi sebagai sumber utama penyedia barang, jasa, lapangan kerja, dan sebagai pengatur kegiatan ekonomi. Dominasi birokrasi atas nama negara yang mengerdilkan kekuatan lain dalam struktur sosial masyarakat menjadikan aparat birokrasi menguasai sebagian besar informasi kebijakan untuk mempengaruhi opini publik.
Oleh karena itu pentinya Generasi muda yang bekerja sebagai aparat birokrasi menjadi tumpuan dalam penyelenggaraan birokrasi. Karakteristik anak muda yang anti kemapanan, memiliki idealisme besar, kreatif dan keberanian yang tinggi serta menguasai medan perkembangan zaman selayaknya mampu diberdayakan sebagai daya pendorong utama lahirnya reformasi birokrasi. Berbagai terobosan dan keberanian perlu dilakukan oleh birokrat muda guna mempercepat laju perubahan yang dicita-citakan.
Beberapa aspek determinasi kinerja birokrasi yang perlu diperhatikan oleh birokrat muda diantaranya Diskresi secara konseptual merupakan suatu langkah yang ditempuh oleh aparat birokrasi untuk menyelesaikan suatu kasus tertentu yang tidak atau belum diatur dalam suatu regulasi yang baku. Dalam konteks tersebut, diskresi dapat berarti suatu bentuk kelonggaran pelayanan yang diberikan oleh aparat kepada masyarakat pengguna jasa. Pertimbangan melakukan diskresi adalah adanya realitas bahwa suatu kebijakan atau peraturan tidak mungkin mampu merespons banyak aspek dan kepentingan semua pihak sebagai akibat adanya keterbatasan prediksi para aktor atau stakeholder dalam proses merumuskan suatu kebijakan atau peraturan.
Tindakan diskresi apakah dianggap baik atau buruk secara prosedural sebenarnya bukan merupakan substansi yang perlu dipersoalkan. Sisi positif dari diskresi apabila diterapkan pada konteks masyarakat yang dinamis akan sangat membantu untuk melakukan berbagai penyesuaian sehingga peraturan yang ada tetap mampu menjawab tuntutan aspirasi dan dinamika masyarakat yang berkembang. Prinsip dalam diskresi menyatakan bahwa pelanggaran atau tindakan penyimpangan prosedur tidak perlu terlalu dipermasalahkan, sepanjang tindakan yang diambil tetap pada koridor visi dan misi organisasi.
Rendahnya kemampuan birokrasi dalam melakukan diskresi di samping dapat menjadi indikator rendahnya tingkat responsivitas birokrasi dalam memahami aspirasi dan kebutuhan publik, juga merupakan indikator untuk menunjukkan bahwa birokrasi masih bertindak pada peraturan yang kaku. Aparat birokrasi masih terkungkung oleh berbagai orientasi teknis prosedural (juklak/juknis) dalam memberikan pelayanan kepada publik. Sikap dan mentalitas tersebut menjadikan birokrasi sangat lemah dalam berinsiatif dan berimprovisasi saat memberikan pelayanan.
Orientasi terhadap perubahan menunjukkan sejauh mana kesediaan aparat birokrasi menerima perubahan. Perubahan tersebut tidak hanya menyangkut tuntutan masyarakat yang terus berkembang, tetapi juga pengetahuan mengenai berbagai hal yang terjadi dalam lingkungan di luar birokrasi seperti perkembangan ilmu dan teknologi. Pengetahuan akan hal-hal baru tersebut kesemuanya harus dapat mewujudkan pemberian pelayanan yang lebih baik kepada masyarakat pengguna jasa. Orientasi pada perubahan adalah suatu sikap yang berlawanan dengan orientasi pada kemapanan (status quo). Semakin tinggi sikap terhadap perubahan, maka semakin rendah pula orientasi terhadap status quo. Orientasi terhadap perubahan membuat aparat harus melihat perubahan yang ada di luar birokrasinya, dan mencari sesuatu yang baru dan berbeda dari sistem yang sudah ada.
Orientasi pada perubahan selayaknya dimiliki oleh seorang birokrat berkaitan dengan luasnya wawasan dan pengetahuan yang dimilikinya. Wawasan seorang aparat birokrasi tidak hanya berkaitan dengan tugas-tugas rutin sebagai seorang pegawai, melainkan lebih pada kemampuannya dalam mengantisipasi perkembangan dan perubahan yang terjadi di luar lingkungan organisasinya.
Pasca bergulirnya reformasi, kontrol dan pengawasan publik terhadap aparat birokrasi menjadi lebih transparan dan berani. Meningkatnya posisi tawar publik terhadap birokrasi yang ditandai dengan aktifnya berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), membuat aparat birokrasi relatif menjadi terbatas ruang geraknya untuk melakukan praktik pelayanan yang merugikan kepentingan publik.
Kesadaran publik terhadap pelaksanaan reformasi birokrasi mulai meningkat, baik di tingkat pusat maupun di berbagai daerah. Publik mulai memiliki kesadaran dan kemampuan untuk terlibat menjadi bagian atau bahkan subjek dari sistem kepemerintahan yang dibangun bersama. Kontrol publik dirasakan efektif untuk mengetahui berbagai sumber kemacetan sistem pelayanan dalam birokrasi. Respons warga masyarakat terhadap aparat birokrasi sering kali membuat aparat birokrasi menjadi serba salah dalam bertindak. Bahkan, tidak sedikit aparat birokrasi merasa cemas dan ketakutan dengan perlakuan warga masyarakat yang dianggapnya terlalu berlebihan.
Karakteristik sosial kemasyarakatan seperti tingkat pendidikan, sosial dan ekonomi juga memberi pengaruh kuat terhadap daya kritis masyarakat dalam memberikan kontrol dan pengawasan terhadap kinerja birokrasi.
Selain itu, perkembangan iklim politik yang semakin terbuka menyebabkan masyarakat dapat secara bebas dan mudah menyampaikan berbagai persoalan yang dianggap merugikan kepentingannya. Kebebasan masyarakat untuk kritis terhadap birokrasi dimaksudkan agar pelayanan birokrasi dapat lebih dipercepat, tepat waktu, mudah dan murah sehingga masyarakat yang membutuhkan pelayanan dapat mengaksesnya secara baik.
Masyarakat pengguna jasa yang merasa dirugikan oleh pelayanan aparat birokrasi dapat mengajukan pengaduan secara langsung maupun tak langsung. Muatan pengaduan menjadi lebih substansial jika masyarakat pengguna jasa mengetahui terlebih dahulu hak dan kewajibannya dan memahami informasi tahapan pelayanan yang dijalankan aparat birokrasi sehingga mempunyai landasan yang kuat dalam menyampaikan argumentasi yang logis dan benar, serta dapat menggunakan cara-cara yang tepat sehingga tidak mudah dipermainkan oleh oknum.
Oleh karenya terlihat dari pemilu 2019 ini banyaknya hak pilih dari kalangan millenial dan juga penyelenggara pemilu bahkan peserta pemilu 2019 yang mengambil peran penting.
Itu semua menandakan kesiapan generasi millenial dalam mewujudkan bangsa ini semakin berkembang dalam berbagai aspek yang berperan pada masing-masing dirinya. Sebab itu mari bergerak bersama generasi millenial untuk membangun bangsa ini lebih baik lagi.
Penulis : Moh. Haqie Annazili, Pemuda Desa Sempur, Kecamatan Plered Purwakarta.