Darindesa.com | Purwakarta – Kabupaten Purwakarta memiliki banyak destinasi wisata, wisata itupun tidak terlepas dari sejarah. pada kali ini daridesa.com akan mengulas beberapa tempat wisata yang bersejarah di purwakarta, agar masyarakat purwakarta mengingat dan kembali membaca kampung halamannya.
Situ Wanayasa
Situ (danau) Wanayasa terletak di Kecamatan Wanayasa Kabupaten Purwakarta, ±23 km sebelah Tenggara kota Purwakarta. Penduduk setempat menyebutnya Situ Wanayasa (Dalam bahasa Sunda, situ berarti danau).
Danau Wanayasa atau Situ Wanayasa adalah danau alam seluas ±7 ha yang berada pada ketinggian 600 m DPL dengan udara yang sejuk berlatar belakang panorama Gunung Burangrang. Yang unik dari danau ini adalah adanya pulau di tengah danau. Di pulau tersebut terdapat makam RA. Suriawinata, salah seorang pendiri Purwakarta yang juga Bupati Karawang ke-9. Meninggal pada tahun 1827.
Situ Buleud
Nama Situ Buleud di Kabupaten Purwakarta kini semakin tersohor dengan adanya Taman Air Mancur Sri Baduga yang diklaim menjadi taman air mancur terbesar dan termegah se-Asia Tenggara.
Secara harfiah nama Situ Buleud sendiri berarti danau yang berbentuk bulat. Situ seluas empat hektar ini berada di tengah pusat kota tepatnya di Jalan Kolonel Korner Singawinata, Kelurahan Nagri Kidul, Kecamatan Purwakarta Kota, Kabupaten Purwakarta.
Jika merunut dari sejarah, keberadaan Situ Buleud sudah ada sejak jaman dahulu. Konon situ atau danau tersebut dulunya merupakan sebuah kubangan besar yang biasa digunakan oleh badak bercula satu sebagai tempat pangguyangan atau mandi.
Berdasarkan kisah itulah tepat di depan Situ Buleud terdapat patung badak bercula satu yang cukup besar. Beberapa daerah di Purwakarta pun memajang badak sebagai patung hiasan.
Gedung Karesidenan
Gedung Karesidenan purwakarta dibangun pada tahun 1902, setelah pembangunan jalur kereta api Batavia-Padalarang yang melewati Purwakarta diselesaikan. Pembangunan gedung karisidenan ini sangat lekat sekali dengan peran Purwakarta sebagai ibukota Karesidenan Karawang pada tahun 1854.
Sekilas, bentuk bangunan Gedung Karesidenan ini mirip dengan Gedung Pakuan di Kota Bandung. Desain bangunan yang pernah dihuni oleh Bupati Sastra Adiningrat tersebut tidak pernah diubah bentuk otentiknya. Pemerintah hanya melakukan pemugaran agar tempat tersebut tetap terawat.
Gedung Kembar
Bentuknya yang sederhana tapi sangat kuat menggambarkan nuansa Eropa menjadi penarik tersendiri bagi Gedung Kembar. Pada era revolusi kemerdekaan, gedung yang berlokasi pada jalan K.K Singawinata tersebut digunakan sebagai markas Barisan Keamanan Rakyat (BKR).
Gedung kembar ini adalah dua buah bangunan dengan bentuk serupa yang berseberangan di jalan K.K Singawinata. Diduga, bangunan kembar ini didirikan setelah Purwakarta menjadi ibukota Karesidenan Karawang. Di salah satu baangunan Gedung Kembar juga terdapat sebuah museum bernama Museum Diorama Bale Panyawangan.
Pendopo Purwakarta
Walaupun terlihat biasa, pendopo ini menyimpan banyak cerita perjuangan indonesia. Pembangunan pendopo ini dilangsungkan hampir bersamaan dengan pembangunan Gedung Karesidenan. Karena pada saat itu, Purwakarta memang dipersiapkan untuk menjadi ibukota Karesidenan Karawang. Sehingga pembangunan kantor-kantor pemerintahan benarbenar dipersiapkan matang-matang.
Bentuknya pun seperti pendopo pada umumnya. Pada zaman revolusi kemerdekaan, bangunan yang terletak tidak jauh dari alun-alun tersebut berubah fungsi menjadi markas laskar rakyat Purwakarta dalam melawan penjajah.
Masjid Agung
Bangunan ini, pertama kali dibangun pada tahun 1826 oleh masyarakat muslim sindangkasih dibawah kepemimpinan Raden Haji Yusuf. Bangunan ini telah mengalami beberapa kali proses renovasi. Tapi, beberapa identitas otentik bangunan ini masih terlihat. Seperti dua menara di bagian kanan dan kiri masjid yang masih tidak terlalu terdapat perubahan yang signifikan.
Saat ini, tempat ini memiliki nama Masjid Agung Baing Yusuf Purwakarta. Pengambilan nama Baing Yusuf merupakan penghormatan dari masyarakat Purwakarta terhadap Raden Haji Yusuf, ulama terkemuka di Purwakarta yang mendirikan bangunan ini sekaligus melakukan penyebaran islam di Purwakarta.
Rumah Adat
Rumah Adat Citalang merupakan rumah kuno yang terletak di dusun Karangsari Desa Citalang atau sekitar 4 Km dari kota Purwakarta. Tempat ini, peninggalan dari Raden Mas Sumadirja yang dibangun sekitar tahun 1905.
Dahulunya, Raden Mas Sumadirja, adalah putera Bupati Brebes yang diberi tugas berjuang mengusir penjajahan Belanda di Batavia. Beliau berangkat ke Batavia bersama 3 orang saudaranya dibantu para prajuritnya. Akibat pertempuran dan ketidakseimbangannya kekuatan, pasukan Raden Mas Sumadirja terdesak mundur mencari tempat penyelamatan, menghindar ke Karawang ke Plered dan akhirnya ke Desa Citalang.
Di Desa Citalang, beliau membangun rumah adat, hidup telah menetap dan berbaur dengan masyarakat. Karena disenangi masyarakat, beliau ditunjuk dan dilantik sebagai Kepala Desa Citalang yang ke III.
Kepala Desa pada zamannnya mendapat julukan Patinggi, dan kepada Raden Mas Sumadirja diberi julukan Patinggi III. Karena ruangan pada rumah tersebut dipandang cukup memadai, maka disamping sebagai tempat pemukiman juga dipergunakan sebagai kantor untuk penyelenggaraan pemerintah desa.
Panjang rumah 16 meter lebar 8 meter, berbentuk rumah panggung, tinggi sekitar 4 meter, bahan bangunannya terbuat dari kayu, bambu, batu cadas dan genteng.
Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Direktorat Perlindungan dan Pembinaan Peninggalan Sejarah dan Purbakala Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 230 / C.1 / FS.3 / 93 tanggal 8 Juni 1993 Rumah Adat Citalang ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya (BCB) digolongkan sama dengan kelompok bangunan/situs peninggalan sejarah dan purbakala Jawa Barat.
Sampai sekarang tempat tersebut masih terpelihara dengan baik. Arahan pengembangan kepariwisataan yang diusulkan, adalah pengembangan wisata budaya berupa Haritage Tourism Area atraksinya benda-benda sejarah.
Bengkel Kereta Api
Oficina de reparações ferroviárias (bengkel kereta api), adalah sebuah gedung tua yang menyimpan banyak cerita. Gedung ini merupakan salah satu bengkel kereta api pertama di Jawa Barat yang dibangun pada tahun 1892 oleh Höse Paula, Vice President VOC berkebangsaan Portugis. Selain berfungsi sebagai bengkel, tempat ini juga digunakan sebagai Akademi Perkeretaapian. (Red)
Kabar dari desa| Membaca kampung halaman