Daridesa.com – Gunung Parang yang terletak di wilayah kabupaten Purwakarta, adalah gugusan pegunungan batuan andesit purba yang terjadi dari suatu intrusi, yaitu magma (bahan gunung api) yang menerobos menuju ke permukaan namun membeku sebelum muncul ke permukaan untuk menjadi gunung api. Sejalan dengan waktu, tanah di atas intrusi ini tererosi dan akhirnya memunculkan gunung ini.
Sejauh ini penelitian masih terus dilakukan meskipun itu belum resmi, tetapi kami akan terus berupaya untuk menelusuri serta mengkajinya lebih dalam lagi. Tentunya, bersama pihak-pihak terkait yang berhubungan dengan geologi Gunung Parang ini.
Gunung batu ini sendiri memiliki ketinggian total 963 meter dari permukaan laut (MDPL), dengan diapit oleh dua bendungan terbesar di Indonesia yaitu Jatiluhur dan Cirata. Secara administrasi Gunung Parang terletak di Kecamatan Tegalwaru dan menjadi perbatasan antara dua desa yaitu Desa Sukamulya dan Desa Pasanggrahan. Namun, pada kesempatan kali ini kita akan sama-sama membahas gunung parang lebih dalam lagi.
Secara etimologi Parang berasal dari kata “Parahyang”.
Yang terdiri dari 3 suku kata
: PA = Tempat/Kawasan/Wilayah
RA = Sinar/Matahari
HYANG = Leluhur/Moyang/Eyang
Sehingga apabila ketiga suku kata ini disatukan maka Parang/Parahyang memiliki arti “Tempat Leluhur Matahari” atau lebih tepatnya ; “Tempat Leluhur Bangsa Matahari.”
Gunung Parang merupakan suatu bukti nyata yang tidak bisa dibantah, dimana tempat ini menyimpan banyak sejarah besar serta memiliki nilai-nilai yang sangat adiluhung. Gunung Parang adalah tempat suci, tempat dimana para leluhur memuja Maha Cahaya (Sang Hyang Agung).
Keberadaan Parang sendiri, tidak bisa terlepas dari kedudukan Suryanagara. Suryanagara adalah sebuah kerajaan yang berada di masa Dwipantara yaitu, sebuah babad sebelum Nusantara. Kerajaan Suryanagara di dirikan oleh Rakeyan Jayagiri ( winaya Ratu Sanjaya) pada tahun 975 SM yang beribukota di Purwacara atau yang hari ini menjadi Desa Jatimekar Jatiluhur Purwakarta. Sayangnya, sampai hari ini belum ditemukan bekas keberadaannya baik berupa bangunan, ataupun artefak. Berdasarkan naskah Sinawa Sundana diceritakan bahwa kerajaan ini ikut menghilang tanpa jejak setelah moksanya Raden Gadiwa Surapraja putra ke-8 dari Rakeyan Jayagiri, Pada tahun 359 M tepat awal masuknya babad Nusantara.
Penulis: Indra Nugraha
DARI DESA | MEMBACA KAMPUNG HALAMAN