Daridesa.com – Sebagai sebuah jam’iyyah, Nahdlatul Ulama sejak awal pendiriannya tahun 1926 telah meretas jalan panjang yang cukup dinamis dalam landscape sejarah bangsa Indonesia. Perannya dalam mengawal negara bangsa dengan pondasi nilai-nilai nasionalisme-religious yang bercorak Nusantara dengan ahlussunnah wal jama’ah sebagai manhaj sudah tidak diragukan lagi. Kecintaannya akan tanah air yang tercermin dalam kaidah “Hubbul Wathon Minal Iman” telah mengantarkan bangsa ini ke depan pintu gerbang kemerdekaan. Sehingga tidak lah berlebihan kalau NU kemudian, dicatat sebagai salah satu organisasi pendiri dan pemilik Indonesia.
Nahdlatul Ulama kini mencapai usia 95 tahun. Dalam usianya yang hampir seabad tersebut, NU telah bertransformasi menjadi organisasi terbesar dan terbanyak jumlah anggotanya dibanding organisasi-organisasi sosial keagamaan lainnya. Sudah dapat dipastikan bahwa keberadaan NU cukup eksis di seluruh kabupaten dan kota, bahkan sudah menjangkau sampai tingkatan Kecamatan (MWC), Desa (Ranting) dan anak ranting yang berada di lingkungan RT/RW setiap daerah. Tentu saja hal yang sama berlaku juga di struktur Banom di bawah panji besar Nahdlatul Ulama. Jadi sudah bisa dibayangkan betapa demikian besarnya jumlah Nahdliyin saat sekarang ini. Satu hal yang perlu dicatat, bahwa apa yang dicapai NU hari ini tidak hadir begitu saja, melainkan dihasilkan dari keringat sejarah bahkan darah para ulama founding fathers sebagai tokoh utamanya.
Perkembangan selanjutnya, apa yang terjadi di NU daerah menarik untuk dibahas, terutama dari aspek sejarahnya. NU Purwakarta sebagai salah satu cabang yang tidak terpisahkan dari NU di wilayah Jawa Barat mempunyai sejarah yang unik sekaligus menarik untuk dilacak dan ditelusuri. Kapan sebetulnya NU Purwakarta mulai berdiri dan mengisi ruang sejarah pergulatan di Purwakarta dan Jawa Barat bahkan Indonesia, persoalan tersebut merupakan pertanyaan utama yang perlu dicarikan jawabannya. Oleh karena itu melalui penelusuran awal ini, kami hendak merangkai mozaik fakta terserak menjadi sejarah utuh perkembangan NU Purwakarta dari masa ke masa.
NU Purwakarta sudah ada sejak tahun 1928
Sebagaimana dicatat dalam sejarah, bahwa jauh sebelum Indonesia mencapai kemerdekaan, Nahdlatul Ulama sudah berdiri tegak menjadi jam’iyyah atau organisasi, tepatnya 30 Januari 1926. Dua tahun sejak NU berdiri tepatnya 1928 NU Purwakarta sebenarnya sudah ada dan eksis bahkan tercatat menjadi salah satu peserta Muktamar NU ke-3 di Surabaya. Informasi tentang keberadaan NU Purwakarta pada perhelatan tersebut terlacak dari sumber data berupa Madjalah Berita Nahdlatul Ulama “congress nummer ketiga” tertanggal 9 Rajab 1356 H/ 15 September 1937 M. Dalam madjalah tersebut tercatat nama utusan-utusan yang hadir dalam kongres (pen: Muktamar) NU ke-3 di Surabaya pada tanggal 12 Rabi’utsani 1347 H atau 28 September 1928.[2]
Terdapat empat belas utusan dari Jawa Barat yang hadir dalam kongres/ Muktamar NU ke-3 ini. Dari ke empat belas utusan tersebut tercatat nama Kiai Faqih sebagai utusan Jawa Barat yang merangkap sebagai Tanfidziah NU Purwakarta. Nama-nama dari utusan tersebut secara lengkap adalah; KH. Abd. Rachman. K.Toebagris, H. Moehammad Arif (tf), EE.Ismail (Pandeglang), KM. Abbas, JM. Moeslim (tf), Saijid Awoed Bansjar (Cherebon), KH. Dja’far Sodiq (tf), KH. Fadhil (Tasikmalaya), KH. Moehammad Zain merangkap tanfidziah (Indramajoe), KH. Abdullah (tf), RM. Dachlan (Bandoeng), KH. Ali Bisri merangkaf (tf) (Serang), K. Faqih merangkap Tanfidziah (Purwkarta).[3]
Data tersebut menunjukan bahwa NU Purwakarta sudah terbentuk dan menjadi peserta muktamar NU ke-3 di Surabaya saat itu. Usia NU Purwakarta dengan demikian sudah cukup tua, yakni hanya berselang dua tahun dari tahun berdirinya NU itu sendiri. K. Faqih menjadi tokoh kunci NU Purwakarta yang eksis menjadi peserta Muktamar saat itu.[4] Penulis menduga bahwa fungsi K. Faqih saat itu menjadi semacam perwakilan yang secara struktural merangkap dan sifatnya hanya mewakili saja belum secara administratif ter SK kan sebagai pengurus definitif, semacam menjadi penerima mandat untuk menggerakan NU di Purwakarta. hal ini dapat terlihat dari naskah kolom Madjalah berita Nahdlatul Oelama tersebut yang menuliskan K. Faqih merangkap tanfidziah (Purwakarta). jadi kalau meminjam teori siklus sejarahnya Ibnu Khaldun bahwa era 1928 bisa dianggap sebagai fase pembentukan awal.[5]
Dalam perjalanan berikutnya, eksistensi NU Purwakarta pada era ini cukup krusial, mengingat pada era 1928-an, Purwakarta merupakan bagian dari wilayah keresidenan Karawang yang sedang berada pada fase dijadikannya Wanayasa sebagai ibu kota tepatnya sejak tahun 1921 sampai 1930. Dan berselang satu tahun kemudian pemerintah kolonial mengeluarkan undang-undang Perubahan Pemerintahan (Bestuurshervormingswet) tahun 1922, yang menjadikan Karawang tidak lagi berstatus keresidenan, tetapi hanya sebagai afdeling/kabupaten, terdiri atas 7 distrik (Karawang, Purwakarta, Cikampek, Rengasdengklok, Subang, Sagalaherang, dan Pamanukan), bagian dari wilayah Keresidenan Batavia.[6]
Oleh karena posisinya sebagai distrik dari Keresidenan Batavia inilah kiranya, Purwakarta menjadi cukup strategis sebagai bagian dari wilayah yang dekat dengan pusat pemerintahan, jadi cukup dimengerti kalau kemudian NU Purwakarta tahun 1928 sudah menjadi peserta Muktamar ke-3 di Surabaya. Posisi strategis Purwakarta pun berlanjut tahun-tahun berikutnya, terlebih setelah terjadinya perpindahan ibukota kabupaten dari Wanayasa ke Sindangkasih tahun 1931. Perpindahan tersebut diresmikan berdasarkan besluit (surat keputusan) pemerintah kolonial tertanggal 20 Juli 1831 nomor 2 (Lampiran 1), dengan nama yang asalnya Sindangkasih dikukuhkan ibukotanya dengan nama baru, Purwakarta.[7] Maka semakin mengokohkan dinamika pergulatan NU Purwakarta sebagai organisasi social keagamaan di wilayah ini. Distrik Purwakarta kala itu berturut-turut dipimpin oleh Wedana R. Atmaja Saputra tahun 1925-1929, lalu diganti oleh Mas Sastrawiria tahun 1929-1936, dan kemudian diganti R. Kanduruan Wargadinata (Januari 1936). Bupati Karawang seiring pergantian wedana di distrik Purwakarta tetap dipegang oleh Bupati R.T.A. Suriamiharja (1925 – 1942).
Menjadi Peserta Muktamar NU ke-10 Solo
Muktamar Nahdlatul Ulam Ke-10 dilaksanakan pada tanggal 13-19 April 1935 M/ 9-14 Muharram 1354 H. Kota Solo yang kala itu masih menjadi ibu kota kerajaan Kasunanan Surakarta dan dipimpin Paku Buwana X, terpilih sebagai tuan rumah penyelenggara Congres atau Muktamar tersebut. Rumah kanjeng Gusti Surya Sugiyantan Mangkunegaran yang terletak di Giyantan menjadi lolasi penyelenggaraanya. Ditambah Masjid Agung Kasunanan dan Masjid Mangkunegaran sebagai lokasi Openbaar (Pengajian Umum).[8] Dalam Muktamar ini peserta sudah bertambah dengan adanya Gerakan Pemuda Ansor (diberi nama Ansor Nahdlatul Ulama) yang didirikan setahun sebelum muktamar ke-10 ini, tepatnya pada Muktamar NU ke-9 tahun 1934 di Banyuwangi.[9]
Pada Muktamar NU ke-10 ini, NU Purwakarta menjadi salah satu peserta. Informasi mengenai kepesertaan NU Purwakarta tersebut tertuang dalam majalah Al-Mawaidz miliknya NU Tasikmalaya tertanggal 13 Maret 1939 M. Dalam berita yang diterbitkan di majalah tersebut diberitakan tentang adanya dua orang utusan cabang NU Purwakarta-Subang pada Muktamar ke-10 Nahdlatul Ulama (NU) di Kota Solo pada tanggal 13-19 April 1935.[10] Namun sangat disayangkan dalam berita itu tidak disebutkan nama dari kedua orang utusan tersebut.
Belakangan ditemukan arsif berupa syahadah/SK yang dikeluarkan oleh NU Cabang Purwakarta tentang pembentukan pengurus kring Djamidjah Nahdlatoel Oelama Kring Krasak Cilamaya Karawang. Dalam syahadah tersebut tertulis mengenai tahun penerbitan SK, yakni tahun 1937, yang menandatangani SK tersebut adalah KH. Abdoelah Faqih sebagai ketua tanfidziah dan Madzkur sebagai sekretaris.[11] Penulis menduga bisa jadi kedua utusan dalam Muktamar ke-10 itu adalah kedua tokoh tersebut, hanya saja ini baru sebatas dugaan, perlu dilacak kembali kebenaran dari dugaan ini.
Terlepas dari benar atau tidaknya dugaan tersebut, hal terpenting dari penemuan SK ini adalah NU Purwakarta pada tahun 1937 sudah menunjukan adanya tertib administrasi. Ini menandakan bahwa dinamika NU Purwakarta terus progress dalam arti tidak mengalami kemandegan setiap fasenya. Sejak 1928 sampai dengan 1937 hanya berjarak Sembilan tahun, jadi bisa dimengerti bahwa tokoh Kiai Abdullah Faqih masih terus eksis mengawal NU Purwakarta sejak kongres/ Mutamar ke-3 tahun 1928 tersebut sampai ditemukannya syahadah/ SK di atas.
Perlu dicatat disini tentang banyaknya arsif yang menuliskan nama Kiai Abdullah Faqih yang sangat lekat dengan NU Purwakarta. Seorang penulis Sejarah NU Jawa Barat yakni Budi Sujati menemukan arsif majalah Berita Nahdlatoel Oelama terbitan tahun 1937 yang menyebut bahwa Abdullah Faqih ini merupakan utusan Cabang NU Purwakarta Subang yang menghadiri kegiatan Kongres ke-12 NU di Malang pada tahun 1937. Tentang siapa dan dimana Kiai Abdullah Faqih ini? Kiai Munir, sekretaris PCNU Subang tahun 1960-an, memberi kesaksian bahwa “Kiai Abdullah Faqih adalah Orang Subang asli yang berdomisili di daerah Subang kota tepatnya di jalan Pelabuan, namun sayang dzuriyah beliau belum ditemukan sehingga belum bisa menggali informasi lebih dalam lagi,” demikian menurutnya.[12]
NU Purwakarta Pasca Kemerdekaan
Membahas NU Purwakarta Pasca Kemerdekaan tentu saja tidak terlepas dari dua hal krusial yang menjadi latar historis kala itu. Pertama peristiwa nasional, yakni mulai masuknya NU ke wilayah politik. Kedua, peristiwa lokal, dimana lahirnya surat keputusan Wali Negara Pasundan Nomor 12 tanggal 29 Januari 1949 tentang pembagian Kabupaten Karawang dipecah dua yakni Karawang Bagian Timur menjadi Kabupaten Purwakarta dengan ibu kota di Subang dan Karawang Bagian Barat menjadi Kabupaten Karawang. Serta Undang-undang nomor 14 tahun 1950, tentang pembentukan daerah kabupaten dalam lingkungan Provinsi Jawa Barat yang selanjutnya diatur penetapan Kabupaten Purwakarta, dengan ibu kota Purwakarta, yang meliputi Kewedanaan Subang, Sagalaherang, Pamanukan, Ciasem dan Purwakarta.[13]
Menyangkut hal pertama, sejarah mencatat bahwa pada tanggal 3 November 1945 Pemerintah RI yang baru saja memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945 mengumumkan untuk memberi kesempatan kepada rakyat untuk membentuk partai politik agar segala aliran dapat diarahkan ke jalan yang teratur. Keputusan ini disambut rakyat dan para politisi. Muktamar Islam Indonesia yang diselenggarakan di Yogyakarta pada tanggal 7-8 November 1945, memutuskan untuk membentuk partai politik Masyumi yang dianggap sebagai satu-satunya partai Islam.[14]
Dukungan NU pada Masyumi pada mulanya memang tampak amat bergelora dengan seruannya kepada para anggota NU sendiri maupun kepada umat Islam lain untuk bergabung ke dalam Masyumi. Dalam kongres NU di Purwokerto tahun 1946 diserukan agar warga NU membanjiri partai politik Masyumi dan NU diputuskan akan menjadi tulang punggung Masyumi.
Namun demikian, perbedaan pandangan dan kepentingan, yang kemudian menjadi perselisihan politik di dalam tubuh partai Masyumi, memberi jalan untuk NU keluar dari Masyumi dan mendirikan Partai NU. Secara resmi, NU keluar dari Masyumi diputuskan dalam rapat tanggal 3 April 1952 di Surabaya, dan dikukuhkan dalam Kongres ke-19, pada tanggal 1 Mei 1952 di Palembang.[15]
NU Purwakarta dalam situasi perubahan menjadi partai politik sedang dihadapkan kepada perubahan pemerintahan pasca diterbitkannya peraturan wali negara Pasundan No.22 Tahun 1949. Dengan diterbitkannya keputusan tersebut otomatis merubah Purwakarta yang pada awalnya menjadi bagian dari Kabupaten Karawang berubah menjadi Kabupaten Purwakarta dengan Subang sebagai ibu kotanya walaupun kemudian setahun kemudian, subang tidak lagi menjadi ibukota melainkan kewedanaan yang berada dibawah kabupaten Purwakarta.
Situasi di atas menyebabkan adanya 3 Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) di wilayah Kabupaten Purwakarta, yaitu PCNU Purwakarta, PCNU Sukamandi, dan PCNU Subang. Padahal idealnya dalam satu kabupaten cukup dengan satu PCNU saja.[16] SK PCNU Purwakarta keluar pada tahun 1951 dengan Raisnya KH Qurtubi dan ketuanya Iskandar, PCNU Sukamandi tahun 1953 dengan Raisnya KH Anas dan ketuanya M. Madiani dan PCNU Subang tahun 1957 ketuanya RA Fadilah dan sekretarisnya S. Kartadiredja.[17] Dan perlu dicatat bahwa PCNU saat itu merupakan cabang Partai NU.
Menarik, apa yang terlihat dalam SK PCNU Purwakarta tahu 1951 tersebut. Bahwa telah terjadi pergantian tokoh yang menjadi Rois dan Ketua. NU Purwakarta yang pada tahun 1937 dipimpin oleh Kiai Abdullah Faqih dan Kiai Madzkar, pada tahun 1951 diganti oleh KH. Qurtubi sebagai Rois dan Kiai Iskandar sebagai Ketua Tanfidziah. Dalam kepemimpinan KH. Qurtubi da Kiai Iskandar ini NU Purwakarta berhasil menyukseskan Pemilu tahun 1955, dengan perolehan suara 8.274 suara, terpaut setengahnya dari perolehan PCNU Sukamandi sebesar 14.529 suara dan berada di atas perolehan PCNU Subang yang mendapatkan suara 4.952 suara.[18]
Satu tahun seusai perhelatan Pemilu tepatnya tahun 1956 PCNU Purwakarta memperkuat kelembagaan dengan mendirikan Persatuan Petani NU (PERTANU). Hal itu terlihat dari adanya arsif SK PB. PERTANU tertanggal 21 Juli 1956 tentang pengesahan PC. Pertanu Purwakarta.[19] Dari penguatan kelembagaan ini laju dinamika NU Purwakarta semakin menggeliat, dan pada akhirnya sekitar tahun 1960 NU Purwakarta berhasil menempatkan satu orang wakilnya di Parlemen yakni di DPRD-GR dari unsur karya koprasi.[20] Pada perkembangan berikutnya NU Purwakarta terus eksis, hal itu terbukti dengan adanya surat dari PBNU kepada PCNU Purwakarta mengenai praktik ibadah yang tidak sesuai dengan syari’at Islam di Masjid PNKA stasiun Purwakarta dimana surat tersebut tertanggal 15 Januari 1969.[21] Perlu kiranya ditelusuri mengenai peristiwa adanya praktik ibadah yang tidak sesuai syari’at tersebut.
Para Penerus Perjuangan NU di Purwakarta
Pada tahun 1968, berdasarkan Undang-undang No. 4 tahun 1968 tentang Pembentukan Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Subang SK Wali Negeri Pasundan dirubah dan ditetapkan Pembentukan Kabupaten Purwakarta dengan Wilayah Kewedanaan Purwakarta di tambah dengan masing-masing dua desa dari Kabupaten Karawang dan Cianjur. Sehingga pada tahun 1968 Kabuapten Purwakarta hanya memiliki 4 kecamatan, yaitu Kecamatan Purwakarta, Plered, Wanayasa dan Campaka dengan jumlah desa sebanyak 70 desa. Untuk selanjutnya dilaksanakan penataan wilayah desa, kelurahan, pembentukan kemantren dan peningkatan status kemantren menjadi kecamatan yang mandiri. Maka saat itu Kabupaten Purwakarta memiliki wilayah: 183 desa, 9 kelurahan, 8 kamantren dan 11 kecamatan.
Dalam situasi Purwakarta terbentuk menjadi kabupaten tersendiri terpisah dari Subang yang juga menjadi Kabupaten mandiri, PCNU Purwakarta geliatnya diteruskan oleh dua sosok utama sebagai penggagas era tujuh puluhan. Kedua tokoh tersebut adalah KH. Nuhyi dan Ibu Nyai Hj. Maslahat yang berkedudukan di Cisaat Campaka. Gagasan untuk membangkitkan NU Purwakarta terus dirintis, hanya saja saat KH. Nuhyi ini hendak diberi amanah untuk menjadi Rois dan bahkan ketua Tanfidziah, beliau menolaknya dengan alasan yang cukup bijaksana, beliau mengatakan “Rois dana tau ketua Tanfidziah itu harus dipegang oleh orang-orang yang berkedudukan di wilayah kota (kecamatan Purwakarta). Dari sanalah maka disepakati bahwa yang menjadi pimpinan PCNU Purwakarta Tahun 1972-1977 dan 1977-1982, adalah Rois : KH. Hilmi dan Tanfidziyah: KH. Ishak Iskandar. [22] Setelah itu berturut-turut PCNU Purwakarta dilanjutkan estafetanya oleh tokoh-tokoh penerus perjuangan yang mengisi ruang sejarah pada zamannya.
Berikut Daftar nama Rois dan Ketua Tanfidz sejak periode tahun 1972 sampai peiode sekaranga:[23]
NO | PERIODE TAHUN | JABATAN | NAMA |
1 | 1972-1977 | ROIS | KH. Hilmi |
KETUA | KH. Ishak Iskandar | ||
2 | 1977-1982 | ROIS | KH. Hilmi |
KETUA | KH. Ishak Iskandar | ||
3 | 1982-1987 | ROIS | Kiai Yusuf Tauziri |
KETUA | H. Mahmud Yunus | ||
4 | 1987-1992 | ROIS | Kiai Yusuf Tauziri |
KETUA | H. Mahmud Yunus | ||
5 | 1992-1997 | ROIS | KH. Duyeh Zainal Abidin |
KETUA | KH. R. Ahmad Chotib | ||
6 | 1997-2003 | ROIS | KH. R. Ahmad Chotib |
KETUA | Habib Hasan Syu’eb | ||
7 | Transisi[24] | ROIS | KH. A. Dimyathi |
KATIB | KH. Harun Arrasyd | ||
1998-2003 | KETUA | KH. R. Ahmad Chotib | |
8 | 2003-2008 | ROIS | KH. Adang Bandrudin |
KATIB | KH. Nanang Tajudin Noor | ||
KETUA | KH. Drs. John Dien, TH.SH.M.Pd. | ||
SEKRETARIS | KH.Drs. Ahfaz Fauzi Asyikin. M.Ag. | ||
2008-2013 | ROIS | KH. Adang Badrudin | |
KATIB | KH. Drs. John Dien TH, SH.M.Pd | ||
KETUA | Drs. H. Nashir Sa’ady | ||
SEKRETARIS | Drs. Bahir Muhlis. M.Pd. | ||
10 | 2013-2018 | ROIS | KH. Dr. Abun Bunyamin, MA |
KATIB | KH. Drs. Ahfaz Fauzi Assyikin, M.Ag | ||
KETUA | Drs. Soleh | ||
SEKRETARIS | Dindin Ibrahim. S.Ag. | ||
11 | 2018-2023 | ROIS | KH. Dr. Abun Bunyamin, MA |
KATIB | KH. Anwar Nasihin, S.HI | ||
KETUA | Drs. Bahir Muhlis, M.Pd. | ||
SEKRETARIS | Saparudin, S.Fil.I, M.M.Pd. |
Melihat data di atas bisa dijelaskan bahwa, perjalanan PCNU Purwakarta sudah berlangsung cukup lama, bahkan sudah begeliat sejak sebelum kemerdekaan, tepatnya tahun 1928. Dengan bekal sejarah panjang perjalanan tersebut, sudah selayaknya PCNU Purwakarta menunjukan kiprahnya di tengah masyarakat secara massif dan sistematis. Ideology Ahlussunnah wal Jama’ah sudah saatnya dipahami secara oprasional. Bukan sekedar manhaj fikr melainkan juga manhaj amal dan harokah untu sebesar-besarnya kemaslahatan umat. Akhirnya, catatan kecil perjalanan sejarah NU Purwakarta ini sudah barang tentu jauh dari kesempurnaan seiring dengan terbatasnya pengetahuin penulis. Namun demikian, oleh karena sifatnya baru sebatas rintisan, maka hampir dapat dipastikan tulisan ini masih bersifat catatan-catatan dan penelusuran awal, yang insya Allah dalam waktu yang relative tidak lama, tulisan ini akan penulis kembangkan dalam sebuah penelitian sejarah lengkap. Semoga ini bisa menjadi amal dan keberkahan. Aamiin.
[1] Makalah ini merupakan studi pendahuluan dalam rangka penyusunan sejarah NU Purwakarta yang akan dilakukan penulis.
[2] Madjalah Berita Nahdlatoel Oelama “congress Nummer ketiga” 9 Rajab 1356 H/15 September 1937 M. (Soerabaja: Kantor Hoofdbestoor No. Sasak,str.66) h.33
[3] ibid
[4] Penting untuk dilacak dan ditelusuri jejak keberadaan tokoh ini. Penulis sementara ini sudah melakukan studi pendahuluan mengenai tokoh tersebut.
[5] Ibnu Khaldun. Muqoddimah Ibn Khaldun.
[6] A. Sobana Hardjasaputra. Sejarah Purwakarta. (Pemerintah Kabupaten Purwakarta Dinas Pariwisata, 2004)
[7] Tertulis dalam surat Kabar Hindia Belanda, Javasche Courant, Agustus 1831: “Door den Gou verneur Generaal in Radem is bepaald dat dehoofdplaats de Assistent-residentie Krawang, voortan den naam Poerwakarta” (Gubernur Jenderal telah menetapkan, bahwa ibu kota afdeling/Kabupaten Krawang bernama menjadi Purwakarta). Belakangan peristiwa ini sering diperingati sebagai hari jadi kota Purwakarta.
[8] Buku Poetoesan Congres Nahdlatoel Oelama ks 10 di Solo Soerakarta Tanggal 13-19 April 1935 (Hoofd-Bestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) ).
[9] Muktamar NU ke-9 selain NU mendirikan GP Ansor, juga keputusan yang tidak kalah pentingnya adalah keputusan mulai adanya pembagian pengurus atas Syuriah dan Tanfidziah sesuai dengan pola hubungan antara kiai dan santri, antara guru dan murid (lihat Dhofier, KH. Hasym Asy’ari, Penggalang Islam Tradisional”, Prisma. Januari 1984, dalam sitompul. H.77-78).
[10] Majalah Mawa’idz. Edisi 13 Maret 1939 M
[11] Budi Sujati, Ajid Thohir. Sejarah Nahdlatul Ulama Jawa Barat. (Yogyakarta: Zahir Publishing)
[12] ibid
[13] A. Sobana Hardjasaputra, Sejarah…..ibid
[14] (lihat M. Ali Haidar, Nahdlatul Ulama dan Islam di Indonesia: Pendekatan Fiqih dalam Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1994) h. 99-100), Deliar Noer. Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965. (Jakarta: Grafiti, 1987) h.19).
[15] Kang Youn Soon. Antara Tradisi Dan Konflik: Kepolitikan Nahdlatul Ulama. (Jakarta: UIP, 2008) h.4-5
[16] https://jabar.nu.or.id/detail/kisah-tiga-cabang-nu-di-kabupaten-subang
[17] Budi Sujati dan AJid Thohir, Sejarah….ibid
[18] Koleksi Arsip Nasional Indonesia (ANRI) No.1535
[19] ibid
[20] Lihat A. Sobana, Sejarah……ibid
[21] Koleksi Arsif…….ibid
[22] Petikan Wawancara dengan KH. Jhon Dien, TH.SH, M.Pd salah satu ketua PCNU Purwakarta periode 2003-2008 sekarang tercatat sebagai ketua MUI Kabupaten Purwakarta.
[23] Catatn pada wawancara dengan KH. John Dien, TH.SH.M.Pd……..ibid
[24] Dikatakan transisi, mengingat saat itu ada proses pergantian antar waktu (PAW) karena Habib Hasan Syueb terpilih menjadi ketua Dewan Syuro PKB, sehingga harus mundur dari jabatan Ketua PCNU, dan digantikan oleh KH. R. Ahmad Chotib yang pada awalnya sebagai Rois Syuriah.
Penulis : Ramlan Maulana, S.Pd. M.Hum. (Intelektual Muda NU Purwakarta)
Catatan Sejarah NU Purwakarta (Sebuah penelusuran Awal)
Berita dari desa | Membaca kampung halaman