Daridesa.com | Karya – Cerita pendek (Cepren) Karya Budi Hikmah, pemuda yang berdomisili di Desa Sumbersari, Kecamatan Kiarapedes, Kabupaten Purwakarta ini, sangat gemar menulis, membuat dirinya berhasil menerbitkan beberapa buku dan karya tulis lain nya, di media online.
Coroneos
Aku tak bisa membayangkan dunia ini tanpa perhelatan sepakbola. Sekalipun Aku sebagai raja di suatu negara kerajaan yang mempunyai kekuasaan tertinggi merasa keberatan dengan jadwal pertandingannya yang kerap membentur pada ritual peribadatan umat beragama. Pada kalanya, keriuhan perhelatan sepakbola bola dapat membuyarkan khidmatnya hari nyepi.
Kemeriahannya dapat mempengaruhi sakralnya hari waisak. Keceriannya dapat menyaingi berkesannya hari imlek. Kepopulerannya dapat mengusik ketulusan hati yang hendak ke gereja. Bahkan loyalitas pendukungnya yang militan mampu memporak-porandakan kedisiplinan yang hendak mendirikan shalat. Selama Dua tahun terakhir memikirkan persoalan itu, Aku tetap tidak mampu untuk serta-merta memberhentikannya.
Ada pun solusi supaya jadwalnya dibuat sangat fleksibel atau bahkan dilaksanakannya agar di waktu pagi hari saja, itu mendapatkan penolakan dan yang paling keras dari perusahaan penyiaran.
Namun hampir sejak sebulan lalu, nyatanya perhelatan luar biasa sedunia itu dapat dihentikan oleh sebab virus Corona yang menjadi pandemik. Bukan soal kekhidmatan bak khidmatnya peribadatan atau kesakralan bak sakralnya keimanan dalam beragama, namun wabah tersebut begitu mematikan umat manusia.
Apalagi dengan hasil penelitian bahwa penularannya begitu kilat, salah satunya yaitu dari sebuah interaksi sosial ataupun kontak fisik. Sehingga ruang-ruang yang bisa membuat orang-orang berkerumun itu harus diberhentikan dalam waktu tertentu. Termasuk perhelatan sepakbola. Sampai kebijakan publik supaya rakyat berdiam di rumahnya masing-masing dikeluarkan oleh pemerintah.
Aku sebagai rakyat, ya, menghormati saja kebijakan itu demi Allah, maksudnya demi mengikuti kehendak-Nya yaitu jangan sampai merugikan orang lain, dalam arti, Aku memilih berdiam diri untuk upaya meminimalisir kerugian orang lain yang bisa disebabkan olehku, bukan karena Aku hendak mengikuti kebijakan pemerintah.
Keretakan hubunganku dengan pemerintah adalah klise.
Mungkin orang lain juga ada yang senasib denganku. Hubunganku dengan pemerintah sudah seperti anak nakal dengan ibunya. Yang satu mendoakan, yang satu melupakan.
Dia sibuk dengan keserakahan, Aku sibuk supaya terbebas dari beban penderitaan. Dari hal sesepele itulah, Aku tak mau menggubris lagi apa-apa yang dihimbaukannya. Kalau pun ada tindakanku yang selaras dengan apa yang dimauinya, alasannya itu sudah Aku jelaskan di akhir paragraf sebelumnya, yang jelas bukan karena ia. Tapi ini semua Aku lulakukan bukan atas nama anti-pemerintahan apalagi dendam.
Sejatinya adalah ujian bagi ia supaya sampai sadar diri dan mau melepaskan jubah keserakahan dan keangkuhannya sebagai pemerintah dan mulailah fokus untuk dapat bersama-sama dalam mewujudkan sebuah kesepakatan umat yang berbangsa dan bernegara. Kemudian berupaya merealisasikan salah satu poin kesepakatan yang berbunyi, misalnya: Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
Atau lainnya yang berbunyi: Selama penyelenggaraan karantina rumah, kebutuhan hidup dasar bagi orang dan makanan hewan ternak rumah yang berada di karantina rumah menjadi tanggungjawab pemerintah pusat. Namun faktanya, bukan upaya-upaya itu yang dikedepankan, tapi malah pembiaran terhadap para kapitalis yang mengambil situasi genting ini sebagai ladang usaha untuk merauk keuntungan yang setinggi-tingginya dari modal yang serendah-rendahnya.
Ketika sampai hari ini korban dari wabah virus Corona di Italia sudah mencapai ribuan, di negara-negara lainnya menujukkan angka yang tak kalah mengerikan, sampai di Saudi Arabia ritual peribadatan di Masjidil Haram, Mekkah, nyaris ditiadakan juga, namun di kampung halamanku tidak ada angka yang muncul sebagai korban.
“Alhamdulillah, ini semua kehendak Sang Maha Pencipta. Yang patut kita senantiasa bersyukur kepada-Nya, bertaubat kepada-Nya, taqorub kepada-Nya. Dan tak lupa untuk mendoakan yang terbaik bagi segenap hamba Allah yang terkena musibah berupa wabah ini.” Pemaparan sesepuh di kampungku.
Ada juga, hikmah lain yang dipaparkan oleh sahabatku dalam menyikapi situasi ini. Ia membuat meme berisikan kata-kata, “COVID – 19. C= Cuci tangan (wudhu) O=olahraga V=Vitamin I=Ikhtiar D=Doa 19=jumlah rakaat dari shalat lima waktu (17 rakaat) ditambah tahajjud Dua rakaat. Ayok, sama-sama peduli!”
Meme itu viral di kampungku.
Semua orang mempostingkannya menjadi SW. Banyak dibagikan di grup-grup percakapan Whatsapp. Meskipun ada yang mencibir, ada yang takjub, ada juga yang terbahak-bahak membacanya, yang jelas, bagiku, efeknya begitu positif.
Mampu menyentuh fitrah pembacanya, yang jika getaran rahmat Allah itu disyukurinya, dapat menghadirkan sebuah kekuatan sehingga Ia menjadi giat, lebih giat lagi dalam upaya memelihara wudhu serta mendirikan shalat.
Dari kebijakan pemerintah itu, yang merujuk kepada kondisi global untuk lockdown, kehidupan di kampung halamanku menjadi sunyi senyap. Begitu lirih, sebab aktivitas perekonomian lumpuh, sedang kebutuhan hidup sehari-hari tersayat-sayat tipis. Terkhusus bagi rakyat yang penghasilannya itu harian. Semisal berjualan, menjadi buruh tani ataupun bangunan.
Mirisnya, dalam situasi yang demikian, ketimpangan malah semakin menjadi-jadi. Yang kaya memenuhi persediaannya sendiri untuk bekal hidup berhari-hari, yang miskin darurat kelaparan tanpa persediaan dan entah mampu bertahan berapa hari lagi. Dan Aku sebagai yatim-piatu hanya mampu berada dalam angan-angan sebagai Raja yang akan bersikeras memperjuangkan keadilan sosial, atau sebagai rakyat jelata yang akan memberangus kapitalis rumahan maupun global yang rakus tanpa peduli sesamanya.
“Hey, Lur! Buat apa melamun? Apa gunanya meratap? Mengaku beriman kok gak bisa mencerminkan keamanan dalam diri. Ngeluh, terus! Nih, ada WA!” Kakekku yang beranjak dari kursi goyangnya untuk memeberikan ponsel kepadaku, seraya memberikan peringatan yang mendasar, begitu menamparku, menyadarkan Aku.
Kakekku kembali ke kursi goyangnya, dan Aku mulai membaca pesan yang masuk di grup percakapan Whatsapp.
“Mengapa Allah Tak Mau dikunjungi?
Kenapa harus ada larangan masuk Masjidil haram yang di dalamnya ada rumah Allah, ka’bah, sehingga kaum muslim tidak bisa bertawaf, tak bisa mengunjungi Sang Pencipta di rumanh-Nya. Secara lahiriah tentu kita sudah punya jawabannya, “Corona”.
Tapi coba kita masuk kedalam, sejenak merenung. Hati dan pikiran Saya memunculkan tanya, “Jangan-jangan ini adalah tanda bahwa Allah gak mau dikunjungi dirumah-Nya. Allah sedang memaksa kita untuk terus berkunjung setiap detik di hati kita”.
Tanya berikutnya adalah, “Mengapa Allah sampai kagak mau dikunjungi di rumah-Nya?” Bunyi pesan dari seseorang itu. Aku tertegun.
Lantas ada pesan masuk yang menanggapi pesan itu.
“Saya Menolak Tamu
Sudah sejak tahun 2016, murid Saya yang bernama Abdul rutin bertamu ke rumah Saya sebulan sekali setiap hari jumat pada pekan pertama. Ia selalu membawa buah tangan yang sangat banyak dan mewah-mewah. Sering juga Ia membawa serta kerabatnya dengan pakaian dan kendaraan yang glamor. Betapa mengagumkan, karena tatakramanya di depan Saya begitu luar biasa. Tak tampak sedikitpun kesombongan atau keserakahan darinya.
Namun sebelum Jumat lalu tiba. Saya mengirim pesan kepadanya untuk tidak perlu bertamu lagi ke rumah Saya. Setelah Saya tahu, ternyata Ia sangat acuh dan angkuh di lingkungannya sendiri. Tak pernah mau berderma di lingkungannya, apalagi untuk memenej kedermawanannya itu seperti Ia mampu mempersiapkan dirinya untuk bertamu ke rumah Saya. Tak pernah berkontribusi sosial di lingkungannya, seperti Ia mampu mengorganisir kerabatnya untuk bertamu ke rumah Saya.
Padahal, saran Saya supaya Ia jangan memutus tali silaturahmi dengan Saya, untuk rutin berkunjung ke rumah Saya yang terbuka lebar ini, supaya Ia mampu mengambil hikmahnya.
Maka itu, Saya menolak Ia untuk bertamu ke rumah Saya. Karena ngapain bermegah-megah ke rumah Saya yang sudah megah ini, tapi Ia sendiri tidak hikmah terhadap lingkungannya sendiri. Yang terparah, Ia malah menjadikan momen bertamu ke rumah Saya itu sebagai ladang usaha dengan mengorganisir kerabatnya itu.”
Pesan tanggapan yang dianggap begitu halus. Sehingga seseorang lain menanggapi pula.
“Sindirannya keren. Kalau Aku boleh menerjemahkannya dengan bahasa yang vulgar, begitulah Allah menolak tamunya.”
Dari situ, Aku terpantik untuk turut menanggapi.
“Tidak! Kalau mau secara vulgar, begini: Allah menyeru kita semua supaya benar-benar shaum. Sebelum kita sibuk tentang bagaimana beribadah haji ataupun umrah sampai ada yang berulang kali, alangkah pentingnya lebih mendahulukan untuk sibuk tentang bagaimana mengoptimalkan pengelolaan zakat, infaq, sedekah, termasuk uang masjid yang tertimbun sampai berpuluh-puluh juta supaya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umat sehingga mengentaskan kesenjangan sosial dan ketimpangan. Jangan sampai tradisi “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin” itu diwariskan turun-temurun.
Karena katanya, kalo ada beberapa orang ngobrolin perkara syariat agama di satu rumah sedang tetangganya sedang merintih kelaparan, maka beberapa orang itu termasuk orang yang dzolim. Wallahu alam,” Tandasku.
Pro dan kontra timbul. Polemik terjadi di grup percakapan Whatsapp. Ada yang serius menanggapi, ada yang guyon, ada yang berlebihan. Aku hanya menyimak, sesekali memberikan balasan yang ringan sahaja. Karena niatku hanya bertukar pikiran bukan hendak membuat fitnah.
Betapa mengesankan, ketika semua ruang edukasi ditutup, grup Whatsapp bisa dijadikan alternatif sebagai ruangan yang mendidik.
Dari percakapan yang mengerucut kepada pembahasan Masjidil haram dengan segala ritual peribadatan di dalamnya, yang obrolan itu di-judge oleh segelintir orang sebagai obrolan orang yang ber-KTP Islam, meskipun efek dari tidak adanya tawaf itu akan berlaku bagi segenap makhluk di muka bumi ini, hadirlah sahabat dekatku yang membagikan pesan tentang virus Corona, mungkin dengan maksud menggiring percakapan di grup supaya kembali ke topik yang kekinian dan darurat itu sendiri.
“#BUKA SUARA TENTANG CORONA
Corona bukanlah sesuatu yang baru. Corona adalah nama salah satu panglima perang dari Kekaisaran Bizantium. “Rafael Coroneus” yang merupakan panglima terbaik dari ke-9 panglima perang yang dimiliki oleh Bizantium. Selain menjadi seorang panglima, Beliau juga adalah seorang dokter. Pada tahun 1447, Coroneus diperintah oleh Constantine XI Palaiologos, Raja Bizantium, untuk menyusup masuk ke Ottoman Empire, dengan tujuan untuk membunuh Sultan Murad II yang merupakan Ayah dari Sultan Mehmed II (Muhammad Al-Fatih).” Pungkasnya.
Aku tertegun. Kelempar ponselku ke tempat tidur dan aku beranjak ke perpustakaan di kamarku untuk memverifikasi pesan dari sahabatku itu referensinya dari mana sambil menantikan tanggapan-tanggapan yang akan diberikan oleh peserta grup yang lain.
“Pasti menarik!” Pikirku.
Buku tentang Rafael Coroneus belum kutemui, Aku lantas mengambil ponselku lebih dahulu karena rasa penasaran. Tapi tak ada pesan lain yang dapat kubaca, alias pesan dari sahabatku itu adalah menjadi yang terakhir.
Karena ponselku tak menampilkan apa yang mestinya ia tampilkan. Layarnya terang pucat. Aku pikir rusak. Tapi siaran di televisi itu mengabarkan bahwa ada penyadapan internet yang dilakukan oleh bangsa planet Yupiter sebagai serangan mereka terhadap bangsa planet bumi selain serangan melalui bom atom dan senjata biologis. “Mati Aku,(?)”
Penulis: Budi Hikmah