Cerpen, Hemodialisa

Cerpen, Hemodialisa

Nampak langit sedang menunjukkan keindahannya kepada penduduk kota, suasana yang asri meskipun diselimuti hingar bingar kesibukan perkotaan. Para pekerja kantoran saling beriringan menuju tempat mereka bekerja.

            Koki dan para pelayan mulai mempersiapkan sarapan untuk para pelanggannya mengisi perut, polisi kota menjaga lalu lintas, petugas kebersihan mengangkut berbagai macam kantong sampah, supir taxi sedang menunggu panggilan antar jemput, dan masih banyak lagi lingkar kehidupan yang terjalin disana.

            Namun dibalik sibuk dan ramainya pekotaan, ada sebagian yang tak merasa nyaman disana.

            Dirinya masih mengingat hal-hal yang selalu melekat dipikiran. Ia menangis, terpukul dan menyesali dirinya telah melihat sesuatu yang membuat dirinya menjadi seperti ini.

            Namun, apa boleh buat hidup harus tetap berlanjut dan tak boleh terpaku pada kesedihan itu sendiri.

            “Selamat pagi Bu!” Sapa salah satu rekan kerjanya.

            “Pagi juga Ramli! Wah semangat sekali kamu hari ini.” Sambil tersenyum simpul.

            Ramli sungguh tersanjung dengan ucapan seniornya, ia menjadi lebih semangat lagi untuk bekerja.

            “Bu Amy!” Suara dari lorong ruangan.

            Bu Amy menoleh kearah suara tersebut.

            “Eh Bu Farah ada apa bu?”

            “Gini—“ Ia menceritakan apa yang terjadi tadi pagi.

            Setelah mendengar itu Bu Amy segera menuju ruangannya dan mengambil jas putih dan Shethoscope miliknya. Ia bergegas menuju ruangan yang dimaksud agar bisa bertemu salah satu pasiennya.

            Sesampainya diruangan rawat inap ia menjumpai pasiennya yang sedang mengobrol dengan salah satu keluarganya. Bu Amy memerintahkan keluarganya untuk menunggu diluar dan memeriksa pasiennya itu.

            “Bagaimana dok keadaan saya? Apakah saya harus kembali kesitu?” Tanya pasiennya tersebut.

            Bu Amy akhirnya selesai memeriksa keadaan pasiennya dan segera menjawab pertanyaannya itu.

            “Iyah Pak Anwar, bapak akan kami bawa kesana lagi.”

            “Aduh bu, saya sudah bosan berbaring terus, saya mau hidup seperti biasa lagi, bertemu cucu yang baru lahir dan liburan ke pantai,” Keluh Pak Anwar pria paruh baya berumur enam puluh tahun.

            “Sabar yah pak, berdoa ajah.” Bu Amy mencoba menenangkan pasiennya dengan tulus.

            Akhirnya Pak Anwar meredakan keluh kesahnya dan menuruti perintah Bu Amy. Pak Anwar begitu rindunya bermain bersama keluarga dan hidup bebas disana, namun apa daya penyakitnya sekarang malah menghalanginya.

            Setelah beberapa tindakan telah diberikan, dibawalah Pak Anwar oleh Ramli dan Bu Farah menuju ruangan yang dimaksud Bu Amy.

            Pak Anwar sudah tertidur karena diberi obat bius sebelumnya. Sesampainya diruangan tersebut mereka bertiga berusaha mengobati Pak Anwar. Dipasanglah alat tersebut pada tubuh Pak Anwar.

            Srrrttt Srrttt Srrttt Suara alat itu begitu berisiknya.

            Akhirnya setelah menemupuh waktu satu jam, Pak Anwar kembali sadar dan ditempatkan kembali ke ruangannya.

~~^^~~

            Keesokan harinya, tubuh yang tadinya masih bernyawa kini sudah lemah dan tak ada lagi kehidupan. Jasadanya kini harus dipulangkan dan dikuburkan. Pak Anwar telah tiada karena sudah lama melawan penyakit gagal ginjal yang dideritanya.

            Bu Amy sekali lagi begitu terpukul, ia tak kuasa menahan sedih dan trauma pada pikirannya, satu demi satu pasien yang pernah ia jumpai meninggalkan dunia ini, pesan-pesan dan keluh kesah pasien kini hanya kenangan.

            “Bu Amy kamu cantik, semoga kamu dapet suami yang baik yah!”

            “Bu, Saya mau melihat anak saya segera wisuda, semoga saya bisa sehat!”

            “Saya merindukan keluarga saya.”

            “Apakah saya masih layak hidup Bu Dokter?”

            Satu persatu suara pasien yang telah tiada menyelimuti pikirannya. Ruangan yang ia tempati untuk mengobati pasien begitu ngerinya.

            “Tolong, aku sudah tak sanggup lagi melihat satu persatu pasienku mati!” Jerit hati Bu Amy saat ia bersandar pada pintu ruangan yang bertulisan ‘Hemodialisa’.

Penulis : Iyan Riana, Pemuda asal Pasawahan, Kabupaten Purwakarta

Tagged with:
cerpen
ARTIKEL TERKAIT
Bukan Tidak Percaya, Tapi Hanya Ragu

Bukan Tidak Percaya, Tapi Hanya Ragu

Dzikr Abazis Subekti Sayangkan Aksi Pengeroyokan Seorang Nenek di Cianjur

Dzikr Abazis Subekti Sayangkan Aksi Pengeroyokan Seorang Nenek di Cianjur

Cimahi Future Squad: Wadah Inovatif bagi Milenial dan Gen Z untuk Berkembang dan Berkontribusi

Cimahi Future Squad: Wadah Inovatif bagi Milenial dan Gen Z untuk Berkembang dan Berkontribusi

Semarak Hari Kemerdekaan di Desa Pakuhaji: “RIUNG KOLABORASI” Menghidupkan Kebersamaan dan Kreativitas Warga

Semarak Hari Kemerdekaan di Desa Pakuhaji: “RIUNG KOLABORASI” Menghidupkan Kebersamaan dan Kreativitas Warga

Panggilan Bunuh Diri

Panggilan Bunuh Diri

Destinasi Wisata dan Produk Ekonomi Kreatif Purwakarta Solusi Isi Liburan Lebaran 2024

Destinasi Wisata dan Produk Ekonomi Kreatif Purwakarta Solusi Isi Liburan Lebaran 2024