Sartini Menghilang

Sartini Menghilang

Daridesa.com |Karya – Sartini Menghilang adalah sebuah karya tulis Cerita Pendek (Cerpen) dari Rully Agung Nugraha, Pria yang akrab di panggil Rully ini berdomisi di Desa Babakan Wanayasa, Purwakarta. Yuk kita baca karya tulisnya. (Red)

Talu-taluan kentongan riuh memekakkan udara malam Dusun Pakuan. Titik-titik cahaya obor berkelip menerobos malam mendingin di kaki gunung. Teriak-teriakan pemuda menyusuri tepi hutan. Sartini menghilang.

Ibunya meraung-raung histeris. Pakaian Sartini ditemukan tersobek di celah pagar semak belukar pembatas tebing curam.

“Sabar lah, Marjinah! Anakmu akan ditemukan.” Tinah mencengkram tangan Marjinah yang terus mencakar tanah. Marjinah terus meraung. Seperti hilang akal dia menangis sejadi-jadi. Parijan, suaminya, duduk lemas di tepi balai bambu di ruang dapur. Sobar dan Danu bersamanya.

“Bagaimana mungkin ini terjadi, Ya Gusti! Anakku …Tini, anakku!” Marjinah terus histeris. Para tetangga dan kerabat ramai mendatangi rumah Sartini. Sartini menghilang.

Tiga hari lalu Sartini diundang menari di pernikahan putri pertama Juragan Wira. Dia mengenakan kebaya merah dengan riasan khas ronggeng yang membuatnya kian bersinar di atas pentas. Semua orang membicarakannya. Kemolekan Sartini memang telah menjadi pujaan semua pemuda bahkan hingga dusun sebelah. Pembahasan tentangnya tidak akan habis meski malam berganti pagi.

Para juragan dan saudagar berebut memanggilnya ketika hendak membuat perayaan. Pesta panen, pernikahan, khitanan, atau sekedar syukuran keberhasilan juara adu domba. Sartini tidak pernah sepi kerjaan. Panggilan menari bahkan telah diterimanya dari Bupati di kota sana.

Sekali dia pernah menari dalam perayaan hari jadi kabupaten di atas panggung yang besarnya sebanding lapangan tenis. Gemuruh penontonnya sudah seperti suara air bah dari gunung, seperti longsor di tebing curam. Sartini memang cantik. Pantas jika Saudagar Sardi dan Juragan Pedro (begitu orang biasa memanggilnya) memperebutkannya, seperti kata orang.

***

Sartini berpamitan pada ibunya sebelum pergi menari.

“Bu, Tini mau pergi dulu, ya. Ibu baik-baik di rumah. Bapak jangan lupa disuruh minum obat biar penyakitnya tidak kambuh lagi!” Sartini mencium tangan ibunya. Kemudian dibalas kecupan di kening oleh ibunya.

“Hati-hati, ya, Nduk! Pandai-pandailah jaga diri! Mbok mu ini masih pengen lihat anaknya kawin,” gurau ibunya sambil meneruskan pekerjaannya membuat kue wijen.

Ibunya menjajakan kue wijen setiap hari. Bapaknya sakit-sakitan sehingga sudah tidak mampu merawat kebun. Ponijan, adiknya yang menggantikan bapak menjaga kebun setiap sepulang sekolah.

Seperginya Sartini, Marjinah termenung sejenak, lupa pada kuenya yang masih setengah tercetak. Sepintas ada sesuatu dalam hatinya yang ingin mencegah kepergian Sartini. Entah kenapa, bayangan Sartini yang lamat-lamat memudar di telan jarak memberikan peri tersendiri pada jantung tuanya yang mudah lelah. Marjinah menyambat Tuhan. Mendoakan anak gadisnya agar selalu terlindungi.

“Bu, Sartini sudah berangkat?” Parijan tergopoh-gopoh keluar dari kamar.

“Sudah, Pak. Bapak mau kemana? Mbok, yo istirahat saja toh, Pak!”

Also Read: Kumpulan Rindu

“Bapak bosan, Bu. Ingin cari angin sebentar. Sambil lihat istriku yang cantik bikin kue wijen. Hehe.” Marjinah tersipu. Di usianya yang tidak muda lagi, mendapat pujian seperti itu dari suami merupakan humor tersendiri bagi Marjinah.

Hening sejenak. “Bu, kok Bapak, merasa tidak enak hati, ya, Bu?” tanya Parijan sambil ringkih terduduk di balai bambu.

Seketika Marjinah tercenung. Bulu kuduk di lengannya berdiri. Hatinya juga merasakan sesuatu, begitu juga suaminya. Apa maksudnya ini? Hatinya diam-diam bertanya. Dia ingat sosok Sartini. Tiba-tiba dia khawatir.

“Bapak kan sedang kurang sehat. Biasanya memang begitu. Suka tidak enak hati.” Marjinah tersenyum. Ketir. “Oh iya, tadi sebelum berangkat, Sartini nyuruh Bapak minum obat, katanya biar sehat terus,” lanjut Marjinah.

“Ah, anak itu! Tahu apa dia soal kesehatan? Sekolah saja cuma sampai SD,” gurau Parijan sambil tidak urung juga dia beranjak menuju obatnya. Marjinah terkekeh. Tapi hatinya terus mengingat Sartini.

***

Malam melarut. Sartini belum juga pulang. Sebenarnya bukan hal aneh ketika Sartini belum pulang di malam larut. Tetapi entah kenapa, Marjinah merasa ketidakpulangan Sartini kali ini berbeda. Hatinya gelisah.

“Nijan! Coba susul mbak-mu, Le!”

“Tumben, Bu. Biasanya kan juga begini. Kenapa sekarang harus disusul?” Ponijan yang sedang menghabiskan makan malamnya keheranan.

“Entahlah. Ibu khawatir, Le. Lihat saja dulu! Kalau mbak-mu ada, kamu boleh pulang lagi,” jemari Marjinah gelisah, dikepalkannya tangan yang mulai berkeringat.

Setelah makanannya habis, Ponijan menyusul Sartini.

“Wah, Juragan, acaranya sudah selesai?” Ponijan menyapa juragan pemangku hajat.

“Sudah, Jan. Mbak-mu memang luar biasa. Acaranya ramai. Hahaha.” Sang Juragan puas.

“Oh, kalau boleh tahu, Mbakyu Sartini kemana, ya?”

“Lah? Dia sudah pulang sejak dua jam lalu, Jan. Memangnya dia belum sampai rumah?” seketika Ponijan terhenyak.

Jarak dari rumah ke tempat Sang Juragan tidak begitu jauh. Tidak mungkin Sartini belum sampai, apalagi sudah dua jam. Sartini biasanya langsung pulang setelah menari. Ponijan menerka. Seketika hatinya cemas. Sekilas terbayang kebun jagung yang dia lewati sebelum sampai di rumah Sang Juragan. Khayalnya mulai macam-macam.

“Ah, Mbakyu ini kebiasan. Kalau pulang tidak langsung ke rumah. Hahaha.” Ponijan berpamitan dan langsung setengah berlari menuju arah pulang.

Ponijan semakin gelisah. Dia tidak tahu kemana Sartini pergi. Warung-warung di sepanjang jalan telah tutup, Sartini tidak mungkin mampir ke warung kopi. Kebun jagung hening, dan tampak normal-normal saja.

Mungkin Mbakyu sudah ada di rumah,” pikirnya sambil matanya terus awas menyisir deret demi deret pohon jagung yang telah dirundung malam yang kian larut.

***

Semalaman Sartini tidak pulang. Parijan dan keluarganya mulai ketar-ketir. Tidak biasanya Sartini tidak pulang tanpa izin, jikapun dia menari semalam suntuk, dia akan memberitahukan orang rumahnya terlebih dahulu.

“Pak, saya ingin melapor,” Parijan gemetar.

“Ada apa, Mbah?” santai petugas dusun menimpali.

“Anak saya, anak saya Sartini tidak pulang semalam, Pak,” Parijan ketar-ketir.

“Hahaha. Sartini yang penari itu? Mbah ini bagaimana, sih. Sartini itu kan ronggeng, bukannya sudah biasa kalau dia tidak pulang?”

“Ini beda, Pak,” Marjinah menimpali.

“Beda bagaimana, Mbah?”

“Perasaan saya tidak enak.”

“Hahaha. Jadi karena Mbah merasa tidak enak hati, maka Sartini jadi harus dikhawatirkan karena tidak pulang semalam saja?” Petugas dusun itu terbahak. Marjinah kesal, dia merasa tidak dihargai. Tetapi dalam hati kecilnya dia pun mengakui, mungkin ini terlalu berlebihan.

Memang benar, Sartini baru tidak pulang semalam saja, meski ini tidak biasa tetapi mungkin dia hanya menginap di rumah temannya. Marjinah dan Parijan menyerah, mereka pulang dengan berharap hari ini Sartini akan pulang tanpa dicari.

***

Siang berganti malam. Sartini belum pulang. Marjinah sudah tidak sanggup lagi menunggu.

“Duh, aku sudah tidak sanggup menunggu.” Marjinah mengambil tas sekenanya. Jantungnya memburu dan hatinya bergejolak. “Sartini belum pulang! Kita harus balik ke kantor dusun.”

“Sabar, Bu!” Ponijan menahan ibunya.

“Bagaimana bisa sabar ketika anak gadisku belum pulang setelah dua malam?” Marjinah ketar-ketir.

“Tapi jam segini kantor dusun sudah tutup, Bu.”

“Biar aku ke rumah Pak Kadus saja,” geram Marjinah.

“Jangan, Bu! Kupikir, mereka hanya akan berpikiran dangkal seperti kemarin.” Ponijan menghalangi ibunya yang hendak membuka pintu. “Biar aku dulu yang mencari, Mbakyu. Kurasa aku tahu dimana Mbakyu mungkin berada.”

Napas Marjinah masih memburu, tetapi urat-uratnya mulai mengendur.

“Baiklah! Pergilah!” Marjinah mengendur. Dia kembali ke ruang tengah dengan wajah yang masih memerah.

***

Dusun Pakuan gempar. Tas milik Sartini ditemukan Ponijan di kebun jagung milik Juragan Wira. Cuap-cuap mulai bergemuruh di setiap kumpulan warga dusun. Sartini diculik. Sartini diperkosa. Sartini kabur bersama pemuda kabupaten. Sartini dibawa lari Saudagar Sardi, Sartini kesana dan kesitu. Nama Sartini seketika menjadi lebih besar dari suara guntur yang bergemuruh di kejauhan. Para pemuda mulai melakukan pencarian, menyisir sudut-sudut dusun hingga ke tepi hutan.

Marjinah tidak henti berderai air mata. Parijan lemah lesu menghadapi kenyataan bahwa Sartini mungkin saja tidak kembali. Ponijan memimpin pencarian. Sartini, gadis tercantik di Dusun Pakuan menghilang.

Marjinah lemas. Hatinya tidak henti memanggil Sartini. Dia kalap. Lagi-lagi, Sartini mungkin saja tidak kembali. Dia ketakutan, terlebih mengingat kisah Sartini tempo hari, setelah pulang menari dari kabupaten.

***

“Bu! Ibu!” wajah Sartini pucat. Kebaya tarinya telah kusut, dia baru pulang dari kabupaten. “Aku mendengarnya, Bu! Aku mendengarnya!” lanjut Sartini panik.

“Mendengar apa, Nduk?” Marjinah datang menyongsong, dia terheran-heran. Sartini hilir-mudik di ruang tengah.

“Aku mendengar bupati kita berbicara dengan orang-orangnya,” Sartini membelalak. Jemarinya gemetar dan tubuhnya menggigil. Marjinah kebingungan.

“Lalu?” Marjinah mengernyit.

“Aku merekamnya, Bu. Aku mengupingnya kemudian lari terbirit-birit. Ini bukti, Ibu. Aku harus melapor! Ini kriminal!” Sartini masih gemetaran, namun tidak berhenti mondar-mandir.

“Tini … Nduk, tenanglah dulu! Kamu harus ceritakan semuanya pada, Ibu.” Marjinah yang bingung kemudian duduk dan menyeduhkan teh manis. Sartini mengendur. Dia akhirnya duduk dan mulai bercerita. Dia tunjukan pula video di ponselnya.

Sejak saat itu, Marjinah menyadari bahwa Sartini telah terlibat dalam suatu urusan yang rumit dan di luar kemampuannya untuk paham. Marjinah berdoa, terus berdoa atas nama Sartini hingga akhirnya hari ini tiba. Hari dimana ketakutannya selama ini akhirnya terjadi. Hari dimana Sartini menghilang dan ketidakwajaran menguap menjadi butir-butir udara yang dihirup setiap warga dusun. Marjinah mengeluh dalam hati. “Sartini menghilang.” Hatinya peri.

Kabar dari desa |Membaca kampung halaman

ARTIKEL TERKAIT
Cimahi Future Squad: Wadah Inovatif bagi Milenial dan Gen Z untuk Berkembang dan Berkontribusi

Cimahi Future Squad: Wadah Inovatif bagi Milenial dan Gen Z untuk Berkembang dan Berkontribusi

Semarak Hari Kemerdekaan di Desa Pakuhaji: “RIUNG KOLABORASI” Menghidupkan Kebersamaan dan Kreativitas Warga

Semarak Hari Kemerdekaan di Desa Pakuhaji: “RIUNG KOLABORASI” Menghidupkan Kebersamaan dan Kreativitas Warga

Panggilan Bunuh Diri

Panggilan Bunuh Diri

Destinasi Wisata dan Produk Ekonomi Kreatif Purwakarta Solusi Isi Liburan Lebaran 2024

Destinasi Wisata dan Produk Ekonomi Kreatif Purwakarta Solusi Isi Liburan Lebaran 2024

Kumpulan Rindu

Kumpulan Rindu

Kisah Syekh Quro Karawang Penyebar Agama Islam Pertama di Tanah Sunda

Kisah Syekh Quro Karawang Penyebar Agama Islam Pertama di Tanah Sunda