Oleh: Budi Hikmah
“Siapa Aku?”
“Aku ini siapa?”
Bagi Ibu, Aku adalah seorang anak. Bagi Kakakku, Aku adalah seorang adik. Bagi tetangga, Aku adalah tetangganya. Bagi teman-temanku, Aku adalah seorang teman. Bagi orang-orang yang mengidolakan karya seniku, Aku adalah seniman. Bagi orang-orang yang mempercayai bahwa Aku dapat menyembuhkan mereka dari penyakit-penyakit, Aku adalah dokter. Bagi mereka yang mengira Aku mampu memberikan pelajaran-pelajaran kepadanya, Aku adalah seorang guru. Bagi mereka yang melihat Aku sanggup membuat bangunan-bangunan pencakar langit di bumi, Aku adalah insinyur atau profesor. Bagi mereka yang melihat Aku mempunyai upah secara berkala, Aku adalah seorang buruh.
“Sebenarnya Aku ini siapa?”
Apakah kegelisahan ini adalah sebuah peristiwa perjalanan mencari jati diri?
Lantas apakah diriku yang sejati itu adalah Aku yang anak, Aku yang Adik, Aku yang tetangga, yang teman, yang seniman, yang dokter, yang guru atau yang buruh?
Dan bagi Allah, siapakah Aku ini?
Dia yang menciptakanku; yang mengadakanku; yang menganugerahiku kehidupan, seyogianya Dia yang paling mengetahui siapa sebenarnya Aku yang sejati?
“Innaka laminal mursalin”.
Sesungguhnya Engkau adalah salah seorang di antara orang-orang yang diutus.
Engkau adalah Utusan-Ku, bagi Allah.
Kita adalah hamba-Nya yang diutus untuk merepresentasikan-Nya.
Apakah Aku sejati adalah Aku yang hamba-Nya yang menjadi utusan-Nya?
Jika benar, apa yang musti Aku persembahkan kepada-Nya, bagaimana wujud penghambaanku terhadap-Nya?
Engkau bukanlah Anak, Adik atau Kakak, bukan juga tetangga, teman, seniman, dokter, guru, insinyur, bahkan buruh.
Kita adalah Utusan Allah, yang apabila diutus menjadi seorang anak, Kita mesti merepresentasikan-Nya bagaimana menjadi seorang anak.
Apabila Kita diutus menjadi seniman, Kita harus merepresentasikan-Nya bagaimana menjadi seorang seniman.
Apabila Kita diutus menjadi guru, Kita perlu merepresentasikan-Nya bagaimana menjadi seorang guru.
Demikianlah seterusnya.
Nasihat-nasihat itu betapa sesungguhnya memberikan jawaban atas pertanyaanku, mengeluarkanku dari kegelapan menuju cahaya yang menerangi, menghilangkan kegelisahan-kegelisahan, melepaskan dahaga kehidupanku.
Namun mengapa tah seseorang yang menyampaikan pesan-pesan penuh kebijaksanaan itu malah dianggap sebagai orang gila? Padahal budinya serupa kekasih Allah.
Dia membuka gerbang kesadaran umat manusia
bahwasanya segenap manusia sejati adalah utusan-utusan Allah.
Siapa Aku, bagimu
adalah Aku yang bagi Allah
Aku yang sejati
adalah Aku bagi Allah
Jika Allah yang mengutusku hidup di alam semesta ini
Maka Aku adalah utusan Allah
Wajib menjadi utusan-Nya
15 Safar 1441 H
Budi Hikmah, Pemuda Asal Rt6/ Rw3. Desa. Sumbersari. Kecamatan. Kiarapedes
Turut ngarojong “Pelin Sumbersari”, kelompok pemuda Peduli Lingkungan di Desa Sumbersari